Greed is (not) Good: Lessons from Wall Street
GONJANG-ganjing dunia keuangan global belakangan ini mengingatkan saya pada salah satu film terkenal era 1980-an, Wall Street. Kalau Anda belum tahu, film yang disutradarai Oliver Stone ini menceritakan sepak-terjang seorang broker saham bernama Bud Fox yang diperankan oleh Charlie Sheen dan seorang corporate raider bernama Gordon Gekko yang diperankan oleh Michael Douglas.
Dalam film ini diceritakan bagaimana Fox yang masih muda dan ambisius mengidolakan Gekko yang sudah sangat berpengalaman dan sangat sukses di Wall Street. Fox pun berupaya setengah mati agar bisa bekerja bersama Gekko. Keinginannya ini akhirnya terkabul. Namun, Gekko ternyata bukan orang baik; ia sangat tamak dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Fox pun terpancing untuk melakukan tindakan ilegal.
Akhirnya Fox pun ditangkap secara dramatis di kantornya. Fox kemudian terpaksa bekerja sama dengan para penegak hukum yang meminta Fox menyadap pembicaraannya dengan Gekko agar Gekko juga bisa ditangkap. Inilah film yang menggambarkan betapa ganasnya rimba Wall Street. Dalam film ini ada satu kalimat dari Gekko yang kemudian menjadi sangat terkenal, “greed, for lack of a better word, is good.”
Buat saya, film ini bisa menggambarkan bahwa marketing pun diperlukan di pasar modal, bukan hanya di pasar komersial. Marketer yang butuh pelanggan (baca: investor) di pasar modal perlu menerapkan strategi marketing yang tepat agar bisa mendapatkan orang-orang yang benar-benar mau jadi investor bisnis kita dalam jangka panjang, bukan spekulan yang hanya mau mencari keuntungan jangka pendek dan tidak peduli terhadap bisnis kita.
Dalam buku Attracting Investors: A Marketing Approach to Finding Funds for Your Business, yang saya tulis bersama Philip Kotler dan Prof. David Young dari INSEAD, kami berpendapat bahwa untuk mendapatkan investor yang tepat, maka marketer harus mampu menawarkan value proposition yang kuat yang dinyatakan dalam positioning, differentiation, dan brand (PDB) perusahaan yang bersangkutan.
Sebaliknya, investor pun perlu mempelajari PDB perusahaan yang bersangkutan. Jika PDB-nya kuat, berarti perusahaan tersebut pada dasarnya punya fondasi bisnis yang kuat. Investor tidak perlu terlalu kuatir jika terjadi fluktuasi harga saham seperti akhir-akhir ini. Memang, di lanskap New Wave yang ditandai dengan arus informasi yang semakin deras ini, isu sekecil apapun akan dengan cepat merambah ke mana-mana. Tak heran jika krisis keuangan yang terjadi di Amerika kemudian dengan cepat menular ke Eropa dan membuat pasar modal di Asia juga ikut terkena imbasnya.
Jadi, sekali lagi saya ingin menekankan, marketing itu sebenarnya bisa dimanfaatkan pada semua aspek bisnis. Marketing bukan hanya berurusan dengan pasar komersial (commercial market), namun juga dengan pasar modal (capital market). Di pasar komersial sendiri, marketing bukan hanya bisa diterapkan di sektor business-to-consumer (B2C), namun juga di sektor business-to-business (B2B).
Sektor B2B selama ini memang masih banyak dipersepsi tidak terlalu memerlukan strategi marketing, seperti yang terjadi dalam industri consumer goods. Sektor B2B dianggap hanya butuh hal-hal yang sifatnya teknis dan rutin-prosedural belaka. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Jangan lupa kalau di lanskap B2B juga ada faktor-faktor Competitor, Customer, Change Agents, dan Connector. Karena itu, di sektor B2B pun perlu diterapkan marketing agar bukan hanya mampu memenangkan market share, tapi juga mind share dan heart share.
Lihat saja yang dilakukan Holcim. Produsen semen ini melakukan sejumlah langkah marketing yang inovatif yang biasanya dilakukan oleh sektor B2C. Holcim melakukan branding secara cukup gencar. Berbagai iklannya ada di televisi, media cetak atau media luar ruang. Di media online, Holcim juga telah membangun situs www.membangunbersama.com yang isinya antara lain berupa konsultasi dan tips membangun atau renovasi rumah.
Kemudian, untuk membangun loyalitas pelanggannya, Holcim juga membuat program Akademi Ahli Bangunan, program yang mengasah ketrampilan para ahli bangunan dalam membangun dan merenovasi sebuah proyek bangunan. Data para ahli bangunan ini tersedia di situs tadi sehingga mudah diakses oleh yang membutuhkan. Bisa kita lihat manfaat dari langkah kreatif seperti ini. Program ini dapat mempererat relasi antara pemilik rumah atau proyek dengan para ahli bangunannya serta juga meningkatkan loyalitas antara berbagai pihak itu dengan Holcim sendiri.
Jadi, di lanskap New Wave yang semakin tanpa batas ini, marketer harus bisa semakin memahami PDB-nya dan selalu optimis. Dengan demikian ia akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada dengan langkah-langkah yang kreatif. (www.kompas.com)
-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --
0 comments:
Post a Comment