Video Temu Bisnis dan Investasi Kabupaten Bandung Barat (KBB)

21 December, 2008

"Face/Off": When John Travolta Becomes Nicolas Cage

Sudah pernah nonton film “Face/Off”?

Kalau belum, saya ceritakan sedikit soal film ini.

Film yang dibintangi oleh John Travolta dan Nicolas Cage ini berkisah tentang seorang agen FBI yang mencoba menghentikan upaya teroris untuk meledakkan bom biologis di Los Angeles. Pimpinan teroris ini bisa tertangkap, namun kondisinya dalam keadaan koma, sehingga FBI tidak bisa mendapatkan informasi tentang lokasi bom.

Maka, untuk mendapatkan informasi tentang lokasi bom ini, si agen FBI menyamar sebagai pimpinan teroris yang sedang koma tadi. Tujuannya untuk mendapatkan informasi dari saudara atau rekan-rekan teroris tadi, di mana letak bomnya.



Untuk penyamaran ini, si agen FBI melakukan operasi pada wajah dan suaranya sehingga sama persis dengan wajah dan suara si pimpinan teroris. Celakanya, pimpinan teroris tadi kemudian siuman dari komanya dan mengetahui apa yang terjadi. Maka, pimpinan teroris itu pun melakukan operasi pada wajah dan suaranya sehingga menjadi benar-benar mirip dengan si agen FBI.



Inilah yang menarik dari film yang disutradarai oleh John Woo ini. Orang-orang di sekitar agen FBI dan pimpinan teroris tadi bisa tertipu oleh penyamaran masing-masing. Si istri agen FBI bahkan tidak menyadari kalau yang sedang bersamanya adalah orang lain, bukan suaminya.



Namun, walaupun wajah dan suaranya sama persis, lama-kelamaan orang-orang terdekat mereka tadi bisa menyadari bahwa si “agen FBI” tadi bukanlah agen FBI yang sebenarnya. Begitu pula si “pimpinan teroris” bukanlah pimpinan teroris yang sebenarnya.



Di film ini kita disuguhi akting dua aktor kelas kakap, John Travolta dan Nicolas Cage, yang memerankan dua orang yang berbeda. Ketika John Travolta dan Nicolas Cage menjadi karakter agen FBI, mereka bisa tampil layaknya tokoh baik yang menimbulkan simpati. Sebaliknya, ketika keduanya berperan sebagai si tokoh teroris, kita bisa sama-sama merasakan kelicikan dan kekejaman pada tokoh tersebut.



Nah, kisah film ini menggambarkan bagaimana “kemasan luar” seperti wajah dan suara orang bisa berubah, namun yang namanya karakter dan DNA tidak bisa berubah.



Begitu pula yang namanya merek. Merek bisa saja berubah-ubah atribut luarnya (logo, warna, tagline, dan sebagainya), namun karakternya akan tidak berubah dan tetap bisa dikenali orang.



Bagaimana cara mengetahui apakah sebuah merek sudah punya karakter yang kuat?



Sederhana saja. Lepaskan semua atribut atau simbol yang melekat pada merek tersebut. Kalau kita masih tetap mengenalinya, berarti karakternya memang sudah kuat.



Sebagai contoh, misalkan saja Anda berkunjung ke sebuah restoran McDonald’s (McD). Kalau semua logo, menu, seragam karyawan, dan atribut-atribut lainnya dihilangkan identitas McD-nya, namun Anda masih bisa mengenali bahwa yang Anda kunjungi itu restoran McD, berarti karakter McD memang sudah kuat. Anda bisa mengenalinya lewat makanannya ataupun lewat servisnya yang sudah menjadi “jiwa” McD sejak dulu.



Contoh lainnya juga bisa dilihat pada Google. Pada saat-saat tertentu, seperti perayaan hari Natal, Tahun Baru atau pada Olimpiade Beijing lalu, logo Google akan berubah menyesuaikan dengan tema saat itu. Namun, kita akan tetap bisa mengenalinya karena karakternya secara keseluruhan tidak berubah.



Google bahkan juga pernah menyelenggarakan kontes membuat logo pada tahun 2004. Pemenangnya adalah Tanja Gompf yang membuat logo “I Love Google”. “Love” di situ disimbolkan dengan gambar hati. Jadi, logo ini mirip dengan logo “I Love NY” yang populer itu.



Langkah Google ini sekaligus menunjukkan adanya proses horisontalisasi dalam pembangunan merek menjadi karakter. Dalam kontes logo pada tahun 2004 itu, Google berupaya melibatkan pelanggannya untuk bersama-sama membangun mereknya. Pelanggan akan merasa senang karena diikutsertakan, sementara Google juga mendapat manfaat karena bisa mendapatkan kreativitas dan insight dari para pelanggannya.



Karakter seperti inilah yang akan mampu bertahan selama bertahun-tahun. Karakter ini akan dijaga bukan hanya oleh perusahaan namun juga pelanggannya sendiri. Kalau misalnya saja sebuah merek melakukan akvititas-aktivitas yang dianggap melenceng dari karakternya, maka pelanggan akan langsung memprotesnya.



Contoh paling jelas ya kasus marketing blunder New Coke dulu. Coca-Cola mengeluarkan New Coke sebagai reaksi atas hasil blind test yang dilakukan Pepsi. Namun, karena pelanggan merasakan bahwa New Coke ini bukanlah minuman Coke yang mereka kenal selama ini, mereka pun memprotesnya dan akhirnya Coca-Cola pun mengeluarkan kembali produk originalnya yang disebut Coke Classic.



Jadi, di era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat adalah karakter, bukan lagi merek. Tampilan merek bisa berganti-ganti, namun yang namanya karakter akan tetap.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

(Sumber : www.kompas.com)


0 comments:

detiknews

Viva News - BISNIS

Kirim SMS Gratis


Gabung Dengan Komunitas BB Online

Pimpinan Umum :
Drs. Ade Ratmadja
Email : (aderatmadja@bandungbaratonline.com)
Pimpinan Redaksi :
Agus Candra Suratmaja, S.P
Email : (aguscandra@bandungbaratonline.com)

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP