True Story : Belajar Kehidupan dari Ani Ema Susanti
Ani Ema Susanti begitulah namanya, aku pertama kali mengenalnya ketika menyaksikan sebuah film dokumenter Eagle Award di sebuah stasion televisi. Saat itu, film garapannya masuk kedalam nominasi finalis Eagle Award. Filmnya menuturkan kisah TKW yang bekerja di luar negeri. Dalam film itu, Ani mengangkat kisah perjuangan dua sisi TKW yang berbeda, di satu sisi ada TKW yang sekembalinya dari luar negeri menginvestasikan penghasilannya untuk pendidikan-kuliah, namun ada juga nasib TKW yang selamanya menjadi TKW karena terjebak konsumerisme. Sehingga, setelah mendapatkan gaji dari bekerja di luar negeri, mereka pun pada akhirnya harus bekerja kembali keluar negeri. Akhirnya, mereka terjebak kedalam lingkaran setan kemiskinan.
Menarik memang melihat film ini, di dalam film ini kita bisa mengambil pelajaran, bahwa hidup itu harus memiliki impian dan cita-cita yang harus kita perjuangkan. Dalam film ini, Ani mengambil setting di daerah Malang Jawa Timur, dengan kampus UIN Malang. Setiap adegan gambar yang diambil sangat saya kenal semua, karena memang lama saya tinggal di Malang, karena saya kuliah di kota ini, tepatnya di UNIBRAW Malang.
Dalam film itu diceritakan kisah seorang perempuan mantan TKW, dengan perjuangan hidupnya untuk belajar di Kota Malang, dia harus menghemat biaya hidupnya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari, dengan masak sendiri tentunya, Belanja sendiri, dan hidup di kost yang sederhana. Perjuangan sangat gigih dan sangat menentuh. Kini, TKW itupun menjadi seorang guru SD bukan menjadi seorang TKW lagi. Benar memang, dengan pendidikanlah Tuhan akan mengangkat derajat seseorang, tentu disertai dengan keimanan.
Sabtu, 14 Februari 2009 di sebuah stasiun televisi, aku pun melihat kembali sosok Ani Ema Susanti, dia menceritakan riwayat hidupnya pada sebuah acara talk show, dia lahir di daerah Jombang, dibesarkan dari keluarga sederhana, dengan pekerjaan ayah dan ibunya seorang buruh tani. Namun, Ani merupakan sosok perempuan yang mandiri. Perjuangan hidupnya dimulai menjadi pekerja buruh pabrik, namun hanya bertahan selama 3 minggu karena di perusahaannya bekerja terjadi demo buruh, sehingga banyak karyawan yang dirumahkan. Lalu, Ani pun mencoba menjadi penjual kosmetika keliling, namun, setelah beberapa lama bekerja ayahnya melarangnya. Setelah beberapa lama berkomunikasi dengan temannya, terlintaslah ide untuk menjadi TKW ke luar negeri. Maka, anik pun berangkat menjadi TKW di negeri Hongkong, dengan pertimbangan penegakan hukum di sana lebih melindungi para TKW dari pada negara lainnya. Beruntung, Anik tingal di dalam lingkungan keluarga yang sangat baik dan mementingkan pendidikan, di sela-sela pekerjaanya, sehabis pulang dari pasar, Anik selalu berkunjung ke perpustakaan dan internet. Hal inilah yang membuat wawasannya menjadi berkembang dan berniat untuk hidup lebih baik.
Kini, Anik bukan menjadi TKW lagi, dia telah menjadi seorang penulis, dan ditahun 2008 lalu dirinya telah menjadi sarjana pisikologi dari sebuah universitas di surabaya. Selain itu, kini Anik sangat aktif di kegiatan sosial, dengan salah satu temannya dia membantu banyak anak asuh untuk di bantu di bidang pendidikan. Diakhir acara dia berpesan ”Apapun kondisi kita, jika kita memiliki cita-cita, kejarlah cita-cita itu sampai dapat”. Aku jadi teringat kisah Soichiro Honda, The Power Of Dreams “Kekuatan Impian”.
Dahulu, Honda bermimpi ingin membuat mobil, maka selepas sekolah dasar, Honda yang anak seorang pandai besi berangkat menuju Tokyo untuk bekerja menjadi pembantu di sebuah bengkel mobil, tugas awalnya hanya mengurusi anak majikannya, dan menjadi pembantu rumah tangga, namun, di sela-sela kegiatan bekerjanya Honda selalu berkunjung ke perpustakaan kota Tokyo, dan menyewa beberapa buku mekanik untuk di bacanya di malam hari, di saat orang-orang lain tidur terlelap. Hingga suatu saat, Honda pun dipercaya membantu beberapa orang mekanik, sehingga akhirnya membuka cabang bengkel baru di kota tempat tinggalnya. Kini lihatlah Honda telah dapat merealisasikan mimpinya. Begitu pula dengan kisah Anik, yang harus rela bekerja ke luar negeri untuk mencapai mimpinya, memang ada saatnya kita harus berani mengejar dan memperjuangkan impian yang kita cita-citakan.
Dengan menginvestasikan waktu kita dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan keterampilan. Lihatlah, bukankah Honda awalnya seorang pembantu rumah tangga? anak seorang pandai besi ? Begitu juga Anik dan beberapa TKW lainnya. Aku pun pernah membaca kisah beberapa orang TKW yang menulis buku, mereka menyisihkan waktunya di sela-sela aktivitas bekerjanya untuk menulis buku.
Mari kita mengambil hikmah dari kisah ini, keterbatasan bukan lagi menjadi halangan untuk mewujudkan cita-cita kita. Kita masih diberikan banyak kesempatan, maka sudah saatnyalah kita bisa memberikan banyak prestasi bagi kehidupan ini. Bagaimanakah para pembaca dan blogger Kompasiana ? Ada saran dan Masukan ? Trima kasih.
(BB Online)

0 comments:
Post a Comment