Video Temu Bisnis dan Investasi Kabupaten Bandung Barat (KBB)

Showing posts with label marketing. Show all posts
Showing posts with label marketing. Show all posts

21 May, 2009

Starbucks 'Jualan' Lewat Dunia Maya

Santi Dwi Jayanti - detikinet Jakarta - Starbucks gencar melakukan kampanye baru di dunia maya. Mulai dari Twitter, Facebook, YouTube, ia gandeng demi merangkul lebih banyak orang dibanding lewat media tradisional.

Taktik yang terbilang unik pun mereka lakukan, salah satunya adalah dengan perlombaan di Twitter. Starbucks memanfaatkan kekuatan situs jejaring dengan memberikan tantangan pada orang-orang untuk menjadi yang pertama memposting foto poster Starbucks di Twitter.Kampanye yang dimulai pada bulan ini, merupakan langkah untuk mengimbangi kampanye minuman kopi yang dilakukan McDonald's dengan budget gila-gilaan mereka di TV, billboard, dan media lini atas lainnya.

Starbucks yakin, lewat media online, selain budget yang mereka keluarkan bisa ditekan, merekapun bisa menjaring jumlah orang yang lebih banyak.

"Inilah perbedaan antara perilisan dengan dana jutaan dollar versus jutaan fans," begitu ungkap Mr. Bruzzo dari Starbucks, jaringan kedai kopi yang telah mendunia ini.

Tak hanya Twitter, situs video YouTube juga dimanfaatkan untuk promosi. Promosi ini dikemas dalam bentuk kontes bagi pekerjanya.

Ternyata, kontes foto yang dilakukan Facebook terinspirasi dari apa yang dilakukan orang-orang melalui Facebook dan Twitter. Dikutip dari NYTimes, Rabu (20/5/2009), setiap tahunnya orang-orang berlomba melakukan posting foto pertama dari toko Starbucks yang didekor bernuansa merah saat liburan. Begitu juga di Flickr, mereka berlomba memamerkan foto beberapa foto toko Starbucks dalam shot yang sama.

Starbucks optimistis kampanye tersebut akan didukung oleh 1,5 juta fans Facebook dan 183.000 follower di Twitter.
( sha / faw )


Selanjutnya..... Selanjutnya...

21 December, 2008

"Face/Off": When John Travolta Becomes Nicolas Cage

Sudah pernah nonton film “Face/Off”?

Kalau belum, saya ceritakan sedikit soal film ini.

Film yang dibintangi oleh John Travolta dan Nicolas Cage ini berkisah tentang seorang agen FBI yang mencoba menghentikan upaya teroris untuk meledakkan bom biologis di Los Angeles. Pimpinan teroris ini bisa tertangkap, namun kondisinya dalam keadaan koma, sehingga FBI tidak bisa mendapatkan informasi tentang lokasi bom.

Maka, untuk mendapatkan informasi tentang lokasi bom ini, si agen FBI menyamar sebagai pimpinan teroris yang sedang koma tadi. Tujuannya untuk mendapatkan informasi dari saudara atau rekan-rekan teroris tadi, di mana letak bomnya.



Untuk penyamaran ini, si agen FBI melakukan operasi pada wajah dan suaranya sehingga sama persis dengan wajah dan suara si pimpinan teroris. Celakanya, pimpinan teroris tadi kemudian siuman dari komanya dan mengetahui apa yang terjadi. Maka, pimpinan teroris itu pun melakukan operasi pada wajah dan suaranya sehingga menjadi benar-benar mirip dengan si agen FBI.



Inilah yang menarik dari film yang disutradarai oleh John Woo ini. Orang-orang di sekitar agen FBI dan pimpinan teroris tadi bisa tertipu oleh penyamaran masing-masing. Si istri agen FBI bahkan tidak menyadari kalau yang sedang bersamanya adalah orang lain, bukan suaminya.



Namun, walaupun wajah dan suaranya sama persis, lama-kelamaan orang-orang terdekat mereka tadi bisa menyadari bahwa si “agen FBI” tadi bukanlah agen FBI yang sebenarnya. Begitu pula si “pimpinan teroris” bukanlah pimpinan teroris yang sebenarnya.



Di film ini kita disuguhi akting dua aktor kelas kakap, John Travolta dan Nicolas Cage, yang memerankan dua orang yang berbeda. Ketika John Travolta dan Nicolas Cage menjadi karakter agen FBI, mereka bisa tampil layaknya tokoh baik yang menimbulkan simpati. Sebaliknya, ketika keduanya berperan sebagai si tokoh teroris, kita bisa sama-sama merasakan kelicikan dan kekejaman pada tokoh tersebut.



Nah, kisah film ini menggambarkan bagaimana “kemasan luar” seperti wajah dan suara orang bisa berubah, namun yang namanya karakter dan DNA tidak bisa berubah.



Begitu pula yang namanya merek. Merek bisa saja berubah-ubah atribut luarnya (logo, warna, tagline, dan sebagainya), namun karakternya akan tidak berubah dan tetap bisa dikenali orang.



Bagaimana cara mengetahui apakah sebuah merek sudah punya karakter yang kuat?



Sederhana saja. Lepaskan semua atribut atau simbol yang melekat pada merek tersebut. Kalau kita masih tetap mengenalinya, berarti karakternya memang sudah kuat.



Sebagai contoh, misalkan saja Anda berkunjung ke sebuah restoran McDonald’s (McD). Kalau semua logo, menu, seragam karyawan, dan atribut-atribut lainnya dihilangkan identitas McD-nya, namun Anda masih bisa mengenali bahwa yang Anda kunjungi itu restoran McD, berarti karakter McD memang sudah kuat. Anda bisa mengenalinya lewat makanannya ataupun lewat servisnya yang sudah menjadi “jiwa” McD sejak dulu.



Contoh lainnya juga bisa dilihat pada Google. Pada saat-saat tertentu, seperti perayaan hari Natal, Tahun Baru atau pada Olimpiade Beijing lalu, logo Google akan berubah menyesuaikan dengan tema saat itu. Namun, kita akan tetap bisa mengenalinya karena karakternya secara keseluruhan tidak berubah.



Google bahkan juga pernah menyelenggarakan kontes membuat logo pada tahun 2004. Pemenangnya adalah Tanja Gompf yang membuat logo “I Love Google”. “Love” di situ disimbolkan dengan gambar hati. Jadi, logo ini mirip dengan logo “I Love NY” yang populer itu.



Langkah Google ini sekaligus menunjukkan adanya proses horisontalisasi dalam pembangunan merek menjadi karakter. Dalam kontes logo pada tahun 2004 itu, Google berupaya melibatkan pelanggannya untuk bersama-sama membangun mereknya. Pelanggan akan merasa senang karena diikutsertakan, sementara Google juga mendapat manfaat karena bisa mendapatkan kreativitas dan insight dari para pelanggannya.



Karakter seperti inilah yang akan mampu bertahan selama bertahun-tahun. Karakter ini akan dijaga bukan hanya oleh perusahaan namun juga pelanggannya sendiri. Kalau misalnya saja sebuah merek melakukan akvititas-aktivitas yang dianggap melenceng dari karakternya, maka pelanggan akan langsung memprotesnya.



Contoh paling jelas ya kasus marketing blunder New Coke dulu. Coca-Cola mengeluarkan New Coke sebagai reaksi atas hasil blind test yang dilakukan Pepsi. Namun, karena pelanggan merasakan bahwa New Coke ini bukanlah minuman Coke yang mereka kenal selama ini, mereka pun memprotesnya dan akhirnya Coca-Cola pun mengeluarkan kembali produk originalnya yang disebut Coke Classic.



Jadi, di era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat adalah karakter, bukan lagi merek. Tampilan merek bisa berganti-ganti, namun yang namanya karakter akan tetap.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

(Sumber : www.kompas.com)


Selanjutnya..... Selanjutnya...

Changi: The Destination Airport

ANDA sudah pernah keliling-keliling Bandara Changi? Kalau belum, saya sarankan kalau kebetulan Anda pergi ke Singapura, coba luangkan waktu untuk jalan-jalan di situ. Bandara Changi ini buat saya bukan sekadar bandara, namun lebih mirip sebuah kawasan wisata.Dari dalam kota Singapura, ke bandara ini paling enak naik mass rapid transit (MRT). Murah, cepat, dan nyaman. Lalu, begitu sampai di stasiun MRT Changi, Anda tinggal naik eskalator yang cukup tinggi ke Terminal 2 (T2). Nah, penjelajahan Anda bisa dimulai. Dari sini Anda bisa keliling-keliling T2, Terminal 1 (T1) atau Terminal 3 (T3).

Baiklah, kita ke T3 yang umurnya belum segenap setahun. T3 ini dibuka pada 9 Januari 2008 yang ditandai dengan kedatangan pesawat Singapore Airlines dari San Francisco, Amerika. Dari T2 atau T1, Anda bisa menuju ke T3 ini dengan menggunakan Skytrain yang beroperasi dari jam 5 pagi sampai jam setengah tiga dini hari.

Nah, bangunan T3 ini secara keseluruhan nampak jauh lebih luas ketimbang T1 dan T2. Arsitekturnya bersifat “open concept”. Hampir seluruh dinding dan atapnya terbuat dari kaca yang tembus pandang, sehingga memudahkan orang untuk melihat pesawat Airbus A380 yang baru. T3 ini memang dipersiapkan untuk menyambut pesawat superjumbo yang berkapasitas besar itu. Dengan adanya T3 ini, kapasitas penumpang maksimum yang bisa dilayani Bandara Changi akan bertambah sebanyak 22 juta orang. Ditambah T1 dan T2, Bandara Changi secara total mampu melayani 70 juta penumpang setiap tahunnya.

Jumlah ini jauh di atas angka penumpang pada tahun 2007 yang sebesar 36,7 juta penumpang. Namun, pengelola Bandara Changi, Civil Aviation Authority of Singapore (CAAS), memang punya kebijakan untuk selalu melihat jauh ke depan. Diharapkan tidak akan terjadi penumpukan penumpang (congestion) atau menurunnya layanan karena kapasitas bandara yang tidak memadai lagi nantinya.

Nah, selepas dari pintu Skytrain tadi, di sebelah kiri, persis berdempetan dengan T3 ini, ada Hotel Crowne Plaza yang eksterior dan interiornya cukup artistik. Di sebelah kanan juga bisa kita lihat yang disebut Green Wall, yaitu dinding setinggi lima meter yang dihiasi dengan 25 spesies tanaman yang menjulur dari atas ke bawah. Ada juga air terjun sehingga kesan tropis sangat terasa di sini. Atapnya sendiri didesain sedemikian rupa sehingga penerangannya bisa alami. Di langit-langitnya ada semacam bilah-bilah papan metalik yang bergelantungan. Rupanya ini untuk membantu menjaga temperatur dan kelembaban dengan menggunakan tenaga listrik seefisien mungkin.

Di dalam T3 ini sendiri banyak aktivitas yang bisa kita kerjakan. Kalau lapar, Anda bisa mencari makanan di food court alias Kopi Tiam yang areanya cukup luas dengan kedai makanan yang sangat variatif. Di sini Anda bisa makan roti kaya di Ya Kun Kaya Toast misalnya, sambil berselancar Internet karena seluruh area T3 ini sudah dilengkapi fasilitas Wi-Fi.

Buat ibu-ibu yang ingin dandan, di sini juga ada kamar hias untuk wanita yang terpisah dari kamar kecil, lengkap dengan meja hiasnya. Letaknya di area keberangkatan (departure). Kalau mau berbelanja, ada supermarket FairPrice NTUC yang beroperasi dari jam 7 pagi sampai 11 malam. Bahkan, kalau mau menonton film, di sini juga ada bioskop yang buka 24 jam dan gratis untuk penumpang atau calon penumpang pesawat.

Sebenarnya fasilitas yang ada di T1 dan T2 juga tidak kalah dengan di T3 ini. Di kedua terminal yang masing-masing diresmikan pada tahun 1981 dan tahun 1991 ini, ada sejumlah fasilitas yang sangat memanjakan penumpang, calon penumpang, atau pengunjung yang sekadar ingin jalan-jalan.

Ada lebih dari 100 gerai ritel, termasuk gerai merek-merek ternama seperti Prada, Gucci, Bulgari, Hermès, FIFA Official Store, dan toko ritel travel Ferrari. Ada Viewing Hall, yang kadang dikunjungi oleh sekelompok anak muda untuk melukis pesawat yang lalu-lalang di bandara. Ada pula business centre, tempat ibadah, gym, area tidur 24 jam, tempat bermain anak, enam taman terbuka, lounge dengan fasilitas shower dan spa, kolam renang, dan masih banyak lagi. Pokoknya serba komplit.

Sangat menarik, bukan? Seperti saya bilang, ini lebih mirip kawasan wisata. Bandara Changi ini bukan sekadar terminal tempat transit atau singgah semata, tapi juga sudah jadi tempat tujuan akhir (destination). Nah, inilah contoh Caring di era New Wave Marketing.

CAAS sebagai pengelola Bandara Changi benar-benar memperhatikan setiap orang yang berkunjung ke situ. Mereka diperlakukan sebagai manusia yang punya kebutuhan dan interest spesifik, bukan sebagai penumpang atau calon penumpang saja yang hanya membutuhkan layanan penerbangan. Caring yang beyond service seperti inilah yang harus dilakukan oleh para New Wave Marketers.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

(www.kompas.com)


Selanjutnya..... Selanjutnya...

Mayo Clinic: Dealing with Customer's Life


SEPERTI pernah saya ceritakan sebelumnya, sejak pertengahan Oktober sampai awal November lalu saya pergi ke Amerika. Di situ saya sempat melakukan general check-up di Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Amerika, dari tanggal 20 sampai 24 Oktober. Nah, selama di sinilah saya merasa takjub, betapa proses yang ditunjang dengan teknologi dan manusia (process, people, technology/PPT) menjadikan proses tersebut berlangsung horisontal. Tidak lagi terjadi silo-silo alias vertikal.
Ceritanya begini. Ada dokter koordinator yang namanya Salma Iftikhar, M.D. Setelah bertemu saya, ia kemudian memasukkan semua catatan kesehatan saya ke dalam komputer. Terus ia menentukan, tes apa saja yang harus dilakukan. Juga dokter spesialis apa saja yang harus saya temui. Hebatnya, setiap kali ada tes atau konsultasi, hasilnya bisa langsung masuk ke komputer. Sehingga semua dokter—yang merawat saya semuanya ada 5 dokter—bisa langsung melihat datanya. Komentar mereka juga bisa dimasukkan ke komputer.

Jadi, prosesnya berlangsung sangat efisien dari sisi waktu. Semuanya bisa dilakukan secara paralel. Team work juga bisa jalan walaupun seluruh dokter tadi tidak pernah bertemu sama sekali. Bisa dilihat bagaimana teknologi yang canggih serta orang-orang yang kompeten dan terlatih mampu menjadikan proses berlangsung dengan cepat.

Lantas, bagaimana hasil pemeriksaan saya? Ternyata saya clear 100%, walaupun sudah terkena diabetes selama 24 tahun. Tentu saja saya senang mendengar hasil pemeriksaan dari Mayo Clinic ini. Reputasinya yang sudah tersebar luas membuat para pasien dari seluruh dunia datang ke sini. Sebagai contoh, almarhum Raja Hussein bin Talal dari Yordania juga pernah dirawat di Mayo Clinic ini. Beliau menghabiskan waktu sekitar 6 bulan untuk perawatan penyakit kanker. Namun, karena memang sudah parah, beliau akhirnya kembali ke Yordania dan meninggal di negerinya tersebut.

Yang menarik, saya juga melihat ada pesawat Saudi Arabian Airlines sewaktu mendarat di bandara Rochester yang kecil. Ternyata itu adalah pesawat sewaan (charter flight), yang membawa orang-orang paling kaya di seluruh dunia yang berasal dari Timur Tengah. Padahal, Mayo Clinic ini bisa dibilang tidak pernah menggunakan iklan untuk mempromosikan dirinya. Institusi ini bahkan tidak punya staf marketing sampai tahun 1986. Dan dari tahun 1986 sampai tahun 1992, yang namanya departemen marketing cuma terdiri dari 1 orang!

Nah, kalau dulu orang belajar servis dari hotel, sekarang musti belajar Caring dari hospital business seperti Mayo Clinic ini. Seperti yang dikatakan oleh Leonard L. Berry dan Kent D. Seltman dalam buku yang berjudul Management Lessons from Mayo Clinic, pelanggan institusi kesehatan seperti Mayo Clinic punya karakteristik yang berbeda dibanding industri lain. Di hospital business ini, pelanggan alias pasien sedang sakit sehingga dalam kondisi yang sangat tertekan. Pelanggan juga bukan sekadar mampir layaknya di toko, namun malah bisa menginap di tempat kita.

Lalu, layanan terhadap pelanggan di hospital business ini juga harus sangat personal; bukan hanya kondisi kesehatannya yang diperhatikan, namun juga faktor-faktor seperti usia, status mental, kepribadian, preferensi, pendidikan, situasi keluarga, dan kendala keuangan juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah penting, kalau penanganan pelanggan ini salah, akibatnya bisa sangat fatal.

Bisa dilihat bahwa penanganan pelanggan di sini bukan sekadar layanan biasa, namun harus benar-benar diperhatikan dan dirawat sepenuh hati alias Caring. Tak heran jika kedua penulis tadi, Berry dan Seltman, menyatakan bahwa Mayo Clinic merupakan “one of the world’s most admired service organizations.”

Dr. William J. Mayo, salah seorang pendiri Mayo Clinic, mengatakan pada tahun 1910 bahwa “The best interest of the patient is the only interest to be considered.” Menurutnya, pasien itu bukan seperti kereta, yang bisa diperbaiki komponen-komponennya secara terpisah. Pasien harus diperiksa dan diperlakukan secara keseluruhan, sebagai manusia. Dr. Mayo ini percaya bahwa seorang dokter spesialis harus bekerja sebagai bagian dari sebuah unit kesatuan ketika menangani pasien.

Para dokter di Mayo Clinic ini memang sangat peduli terhadap pasiennya. Mereka sendiri yang menjemput kita dan mengantarkan keluar kamar praktik, bukan perawat. Mereka semua ramah seperti teman sendiri. Sumber daya manusia ini didukung oleh teknologi yang canggih. Beberapa teknologi untuk mendiagnosis pasien dikembangkan oleh IBM yang punya fasilitas manufaktur dan pengembangan di Rochester juga.

Nah, untuk menangani pelanggan dengan sepenuh hati seperti ini, Mayo Clinic mampu mengintegrasikan antara process, people, dan technology (PPT) tadi. Inilah kunci sukses dalam melakukan Caring di era New Wave Marketing.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya (Sumber : www.kompas.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

It's not Process anymore, It's Collaboration!

ELEMEN terakhir dari Value Pemasaran, sekaligus elemen terakhir dari Sembilan Elemen Inti Pemasaran, adalah Proses. Proses adalah value enabler dari suatu perusahaan, karena hanya dengan adanya proses, kedelapan elemen inti pemasaran lainnya akan bisa berjalan dengan efektif dan efisien.Secara garis besar, sebuah perusahaan melakukan tiga jenis proses dalam aktivitasnya. Yang pertama adalah Routine Delivery Order. Ini merupakan proses yang berlangsung secara rutin untuk menghantarkan produk atau servis kepada pelanggan. Proses ini menjadi tanggung-jawab Operational Managers.



Lalu yang kedua adalah Customer Handling, yang merupakan proses yang terkait dengan penanganan layanan atau keluhan pelanggan. Ini merupakan tanggung-jawab Service Manager.



Dan, jenis proses yang ketiga adalah New Product Development. Di sini perusahaan melakukan proses mulai dari tahapan penggagasan (ideation) sampai ke penjualan ke pelanggan (commercialization) sebuah produk atau layanan baru. Yang bertanggung-jawab di sini adalah Brand/Product Manager.



Ketiga jenis proses itu pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk meningkatkan kualitas dengan biaya seminimal mungkin dan dihantarkan ke pelanggan secepat mungkin (Quality, Cost, Delivery/QCD). Nah, itulah uraian singkat tentang proses dalam era Legacy Marketing.



Namun, dalam era New Wave Marketing ini, istilah yang lebih tepat bukan lagi proses, namun Collaboration. Mengapa demikian?



Proses saat ini tidak bisa lagi dijalankan secara vertikal oleh satu perusahaan, namun harus dijalankan secara horisontal dengan memanfaatkan banyak sumber. Perusahaan harus menjalin kolaborasi dengan banyak pihak agar bisa lebih kompetitif dan menawarkan value yang lebih tinggi kepada pelanggan.



Dalam istilah Dr. Victor K. Fung, Chairman Li & Fung Group, perusahaan mengalami transformasi menjadi “a orchestrator of value networks”. Ia memberikan contoh proses manufaktur T-shirt yang tidak lagi berasal dari satu pabrik, namun bisa berasal dari banyak pabrik di berbagai negara.



Karena itulah, Collaboration akan memegang peranan penting di era New Wave Marketing. Kemampuan perusahaan untuk memilih dan menjalin kerjasama dengan mitra yang tepat akan menentukan daya saingnya di lanskap New Wave yang seperti galaksi tanpa batas ini.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya (Sumber : www.kompas.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

IBM Rochester: High-Tech High-Touch Collaboration

Masih ingat kisah saya soal Mayo Clinic? Nah, kali ini saya mau cerita soal kunjungan saya ke fasilitas IBM di kota yang sama dengan lokasi Mayo Clinic itu, yaitu di Rochester, di negara bagian Minnesota, Amerika. Gedung IBM Rochester ini sendiri oleh karyawan IBM dijuluki sebagai ”Blue Zoo”. Hal ini karena gedungnya dipenuhi panel-panel berwarna biru, sesuai warna korporat IBM.
Di sinilah terdapat fasilitas manufaktur, rekayasa, dan pendidikan dari IBM. Anda tahu sistem komputer AS/400? Nah, di IBM Rochester inilah tempat pembuatannya. Kapasitas produksi di sini memang sangat besar, sehingga kalau dijadikan perusahaan terpisah bisa menjadi produsen komputer terbesar ketiga di dunia!

Saya sangat terkesan dengan persiapan dan layanan yang diberikan. Nama saya sudah dipasang di papan nama di briefing room dan di gedungnya. Juga sudah ada material presentasi yang disiapkan untuk saya.

Ini menunjukkan Guestology Service dari sebuah perusahaan high-tech seperti IBM. Pengunjung diperlakukan layaknya tamu yang datang ke ”rumah”-nya.

Nah, di situ saya diterima oleh John Rathke dari IBM Systems Executive Briefing Center di Rochester. Dia ini sudah bekerja lebih dari 40 tahun di IBM.

Saya lalu dibawa masuk ke pabrik assembling-nya. Mengagumkan! Semua berjalan otomatis, termasuk robot-robotnya jalan sendiri di jalurnya. Di pabrik ini orangnya sedikit sekali, sampai-sampai quality control (QC) pun memakai komputer.

Yang lebih hebat lagi saya dipertemukan dengan Charlie Johnson, Chief Scientist di briefing room tadi. Dialah yang memimpin grup IBM membuat prosesor khusus utk Xbox-nya Microsoft!

Dia juga bilang bahwa high-tech itu percuma saja kalau tidak berguna untuk manusia.

Karena itu, IBM sekarang bukan seperti dulu yang pokoknya bikin teknologi dan ”memaksa” orang untuk menerimanya. Ingat produk mainframe dari IBM? Nah, itu masih menunjukkan sifat yang vertikal.

Karena itulah IBM terus menjalin kolaborasi dengan banyak pihak agar teknologinya benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan orang. Mereka sekarang berkolaborasi bukan cuma dengan Microsoft, tapi juga dengan Mayo Clinic.

Kolaborasi seperti inilah yang akan menjadi penentu di era New Wave Marketing. Bukan hanya integrasi vertikal, namun juga kolaborasi dengan perusahaan lain secara horisontal yang semuanya itu ditujukan untuk melayani pelanggan sebagai manusia seutuhnya.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --




Hermawan Kartajaya (Sumber : www.kompas.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

"We are the World": by USA for Africa


“There comes a time, when we need a certain call. When the world, must come together as one.”

Anda tahu lirik lagu ini?

Itulah lirik pembuka dari lagu “We are the World” yang sangat populer pada tahun 1985. Lagu ini dinyanyikan secara keroyokan oleh para musisi ternama dunia, mulai dari Michael Jackson, Bob Dylan, Stevie Wonder, Tina Turner, Bruce Springsteen, Paul Simon, Kenny Rogers, dan masih banyak lagi.

Lagu ini melodinya indah, liriknya juga sederhana dan mudah diingat. Karakter vokal yang unik dari para musisi ternama ini mampu membuat harmonisasi suara yang indah, sehingga masih terngiang-ngiang di telinga kita sampai saat ini walaupun sudah lebih dari 20 tahun
Proyek yang digarap oleh Quincy Jones ini bertujuan untuk mengumpulkan dana dalam rangka membantu upaya pemberantasan kelaparan di Ethiopia. Pada tahun 1984-1985 itu Ethiopia memang sedang mengalami tragedi kemanusiaan kekurangan pangan akibat musim kering yang berkepanjangan.



Para musisi tadi menamakan dirinya sebagai “USA for Africa”. Jangan salah, nama tersebut bukan merupakan singkatan dari “United States of America for Africa”, tapi “United Support of Artists for Africa”. Sebagian besar musisi tersebut memang berasal dari Amerika, namun ada juga yang berasal dari luar Amerika seperti Bob Geldof (dari Irlandia) dan Dan Aykroyd (Kanada).



Proyek “USA for Africa” ini mencapai kesuksesan luar biasa, bukan hanya dari segi komersial, namun juga dari sisi pengaruhnya terhadap aspek sosial-budaya masyarakat.



Proyek amal ini sebenarnya diinspirasi dari proyek serupa dari Inggris, yaitu proyek Band Aid dari Bob Geldof pada tahun 1984. Dengan lagunya “Do They Know It’s Christmas?” Band Aid juga berupaya mengumpulkan dana untuk memerangi kelaparan di Ethiopia. Band Aid sendiri terdiri dari sejumlah musisi ternama Inggris saat itu seperti Duran Duran, Spandau Ballet, Paul Young, George Michael, Sting, Phil Collins, Bono, dan lainnya.



Nah, kisah proyek USA for Africa dan Band Aid ini bisa menjadi inspirasi bagaimana pentingnya melakukan kolaborasi dalam era New Wave Marketing.



Kolaborasi seperti inilah yang bisa menyentuh hati pendengar musik di seluruh dunia. Pendengar musik (baca: pelanggan) akan terus menyimpan kenangan ini selamanya di hati mereka.



Para musisi ternama tadi juga mau melakukan kolaborasi karena adanya tujuan bersama yang di atas kepentingan pribadi mereka masing-masing.



Sama seperti perusahaan, jika ingin melakukan kolaborasi tentu masing-masing perusahaan harus merasakan adanya tujuan bersama yang ingin dicapai. Setiap perusahaan harus mau berdiri sejajar dan mengedepankan kepentingan bersama atas adanya kesadaran bahwa tujuan tadi tidak dapat diraih jika masing-masing berjalan sendiri.



Berkat perkembangan teknologi yang semakin pesat, kolaborasi ini menjadi lebih mudah dilaksanakan. Seperti yang sudah saya ceritakan dengan mengambil contoh kisah Li & Fung, InnoCentive, Mayo Clinic, dan IBM.



Proyek USA for Africa juga menunjukkan pentingnya peranan karakter. Bisa dilihat bahwa karakter masing-masing musisi tetap tidak hilang dalam proyek kolaborasi ini. Kita masih bisa mengenali, mana suara Michael Jackson, mana Bob Dylan, mana Stevie Wonder, dan sebagainya.



Hal ini bisa terjadi karena para musisi tersebut memang sudah punya karakter yang kuat. Mereka punya karisma yang telah melekat di hati para penggemarnya.



Begitu pula merek. Merek harus memiliki karakter yang kuat sehingga tetap bisa dikenali orang di tengah-tengah lautan merek yang ada saat ini. Merek atau karakter yang karismatik akan mampu membuat pelanggan jatuh cinta setengah mati. Ia tidak akan sensitif lagi terhadap masalah harga misalnya, karena karakter tersebut sudah dianggap sebagai bagian dari dirinya sendiri.



Karena itu, karakter seperti ini juga sudah tidak memerlukan “baju” atau “kemasan” lagi. Pelanggan akan dengan mudah mengenali karakter yang bersangkutan walaupun kemasannya berbeda.



Sebaliknya, walaupun ada produk yang mencoba memirip-miripkan kemasan luarnya dengan sebuah merek/karakter yang sudah kuat, pelanggan juga tetap akan bisa mengenalinya. Pelanggan tidak akan tertipu, karena karakternya memang tidak bisa ditiru.



Dan yang terakhir, kepedulian yang tuluslah yang dibutuhkan orang saat ini, bukan sekadar perhatian atau malah lip service belaka. Caring akan membuat seseorang merasa diperhatikan sebagai manusia, bukan obyek layanan. Pemanfaatan teknologi akan memudahkan sebuah perusahaan memberikan kepedulian yang sepenuh hati ala rumah sakit kepada para pelanggannya.



Inilah cara memenangkan heart share di era New Wave Marketing, yaitu melalui Character, Caring, dan Collaboration.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya (Sumber : www.kompas.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

Obama: The Era of Internet Presidency


PEMILIHAN Presiden Amerika Serikat sudah usai. Barack Obama sudah terpilih menjadi Presiden AS periode 2008-2012 dan akan dilantik pada 20 Januari 2009. Ada satu catatan yang menarik bagi saya dari Pilpres Amerika kali ini, yaitu bagaimana pentingnya peranan internet, terutama Web 2.0 dan social networking, sebagai media kampanye. Ini menandai era baru pemanfaatan media dalam sejarah kepresidenan di Amerika.Dulu, pada masa kepemimpinannya, Franklin D Roosevelt (FDR) memanfaatkan radio untuk menjelaskan kebijakan New Deal-nya kepada warga Amerika. Sepanjang tahun 1933 sampai 1944, pidato radio FDR yang dikenal sebagai fireside chats ini mampu membangkitkan semangat kepada warga Amerika yang sedang dilanda the great depression dan disusul Perang Dunia Kedua.

Belasan tahun kemudian, pada September dan Oktober 1960, John F Kennedy (JFK) dan Richard Nixon melakukan debat kepresidenan untuk pertama kalinya di televisi. Hasilnya? Menurut penonton televisi, JFK yang menang. Namun, menurut pendengar radio, Nixon-lah yang menang atau setidaknya seri.

Mengapa? Karena pendengar radio tidak melihat apa yang disaksikan oleh pemirsa televisi. Nixon saat itu kakinya sedang sakit dan tampak kelelahan. Sementara itu, JFK kita tahu berwajah tampan, muda, dan penampilannya simpatik. Karena itu JFK akhirnya bisa memenangi pemilihan presiden Amerika, mengalahkan Nixon.

Nah, kalau era FDR bisa disebut sebagai the first radio presidency dan era JFK menandai the first television presidency, era Obama adalah the first internet presidency. Di era Obama inilah internet berperan sangat penting. Obama menggunakan situs www.barackobama.com sebagai platform utamanya ketika sedang berkampanye. Situs ini bukan hanya menjadi sentra informasi dan komunikasi resmi, melainkan juga menjadi semacam konektor ke berbagai situs terkait lainnya, seperti Facebook, MySpace, YouTube, Flickr, Digg, Twitter, Eventful, LinkedIn, Black Planet, Faithbase, Eons, Glee, MiGente, MyBatanga, Asian Ave, atau DNC PartyBuilder.

Di situs BarackObama.com ini ada juga penjelasan cara mendapatkan informasi secara mobile lewat telepon seluler. Ada pula aplikasi iPhone dan ringtone yang bisa di-download secara gratis. Selain itu ada juga Obama Store yang menjual merchandise tradisional, seperti T-shirt, gelas, poster, pin, topi, atau stiker.

Namun, bagi saya, yang paling menarik dari situs ini adalah fasilitas social networking-nya yang beralamat di my.barackobama.com. Di komunitas online yang biasa disebut myBO ini, simpatisan Obama bisa secara aktif mendukung kampanye sesuai dengan profil dirinya masing-masing. Kalau Anda sudah terbiasa dengan Facebook, myBO ini akan terasa sangat familiar. Tampilan dan fitur-fitur yang ada di sini mirip dengan yang ada di Facebook.

Pertama-tama kita masuk ke fasilitas My Dashboard. Ini semacam control panel untuk semua aktivitas yang akan, sedang, dan telah kita lakukan di myBO ini. Aktivitas yang bisa dilakukan sendiri sangat beragam. Kita bisa menulis pendapat kita ke koran dan stasiun TV lokal atau nasional tentang berbagai isu kampanye kepresidenan, baik yang dilakukan Obama maupun pesaingnya. Ada juga fasilitas My Blog yang memungkinkan kita bercerita soal pemikiran atau pengalaman kita.

Kita juga bisa bergabung ke lebih dari 20.000 grup aktif yang ada di sini, baik berdasarkan interest maupun lokasi tempat kita tinggal. Grup yang berdasarkan interest ini macam-macam, ada yang untuk single mom untuk yang bekerja sebagai air traffic controller (ATC) sampai ke pendukung Obama yang menggemari tarian tango.

Lalu, kita juga bisa memanfaatkan fasilitas Contact Voters. Di sini kita bisa berpartisipasi menghubungi para tetangga kita yang punya hak pilih (voters), baik lewat metode calling campaign atau walking campaign. Kita tidak perlu repot-repot melakukan pendataan. Di sini kita tinggal memberitahukan lokasi kita, nanti akan muncul secara otomatis daftar nama dan lokasi para voters di sekitar kita.

Yang juga tak kalah menarik adalah fasilitas Fundraising. Di sini kita bisa menentukan sendiri target dana yang ingin kita kumpulkan dari para kenalan kita lewat e-mail. Berapa banyak donatur dan jumlahnya bisa kita pantau lewat myBO kita ini. Canggih, bukan? Tak heran kalau Obama dan timnya pun memanfaatkan media internet lagi ketika sudah terpilih dan dalam masa transisi sekarang (president-elect). Bukan di BarackObama.com lagi, tapi lewat situs Change.gov.

Nah, bisa kita lihat bagaimana ampuhnya internet dengan Web 2.0 dan social networking-nya. Kisah Obama di atas mudah-mudahan bisa menginspirasi New Wave Marketers untuk melakukan langkah-langkah kreatif menghadapi lanskap yang terus berubah dengan pesatnya ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya (Sumber : www.kompas.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

Pangea Day: When the World Becomes One


“By sharing stories, we’ve started the process of turning strangers into friends.” Itulah yang dikatakan Jehane Noujaim, seorang sutradara Amerika kelahiran Mesir, yang juga merupakan penggagas Pangea Day.

Apa itu Pangea Day? Pangea Day merupakan acara multimedia yang diselenggarakan di enam kota sekaligus: Kairo, London, Los Angeles, Mumbai, Rio de Janeiro, dan Kigali (ibu kota Rwanda). Selama empat jam pada 10 Mei 2008 lalu, keenam kota tersebut secara simultan menyelenggarakan pemutaran film, pementasan musik, dan menampilkan pidato dari sejumlah tokoh terkemuka.

Hebatnya, keseluruhan program ini disiarkan secara langsung dalam tujuh bahasa kepada jutaan orang lewat media televisi, Internet, dan telepon seluler! Acara ini bertujuan untuk menyatukan jutaan orang di seluruh dunia melalui sebuah pengalaman bersama yang unik. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta pemahaman yang lebih baik antara tiap-tiap manusia yang terdiri dari berbagai bangsa, budaya, dan bahasa.

Pangea Day sendiri diinspirasi dari kata ”Pangea” yang merupakan super benua pertama yang ada di planet bumi sekitar 250 juta tahun lampau. Saat itu bumi memang masih terdiri dari satu daratan yang mahabesar, belum terpisah-pisah menjadi benua Asia, Afrika, Eropa, dan sebagainya. Jadi, dengan pelaksanaan Pangea Day diharapkan bahwa umat manusia bisa bersatu kembali demi kesejahteraan bersama, bukannya terpisah-pisah oleh berbagai konflik seperti yang ada sekarang. Nah, pelaksanaan Pangea Day ini menjadi contoh nyata proses horisontalisasi di era new wave marketing.

Perkembangan teknologi membuat orang menjadi lebih mudah melakukan kerja sama dengan banyak orang di negara lain yang terpisah ribuan kilometer. Tidak ada lagi jurang yang bisa memisahkan manusia di muka bumi ini, baik itu perbedaan bahasa, budaya, maupun agama. Kerja sama seperti ini merupakan keniscayaan karena tidak ada satu pun negara atau bangsa di dunia ini yang benar-benar bisa hidup sendiri.

Amerika Serikat, misalnya, terbukti rakyatnya juga merasa tidak nyaman dengan kebijakan unilateral dari George W Bush dan akhirnya memilih Barack Obama yang dianggap bisa mengembalikan pamor Amerika di mata dunia. Begitu juga negara China, yang justru mengalami kemajuan pesat setelah bersikap lebih terbuka terhadap penanaman modal asing di negaranya. Olimpiade Beijing pada Agustus lalu seolah menjadi showroom dari kesuksesan pembangunan China di abad modern ini.

Jadi, sekali lagi saya katakan bahwa pandangan outward-looking menjadi paradigma yang penting di era new wave marketing. Kita harus selalu melihat pasar, apa saja yang telah dilakukan pesaing dan pelanggan kita. Tidak bisa lagi kita mengelu-elukan kejayaan masa lalu yang mungkin tidak relevan lagi saat ini.

Dalam konteks industri sendiri, lambat-laun istilah country of origin juga menjadi kurang relevan lagi. Pelanggan akan memilih produk alias Co-Creation yang dianggap terbaik, tidak peduli dari mana asalnya. Lagi pula, semakin sulit menentukan dari mana sebenarnya asal sebuah produk. Proses yang ada sifatnya sudah jadi collaboration antara berbagai perusahaan di berbagai negara.

Misalnya saja pesawat Boeing 787. Sebagian fuselage-nya dibuat di Amerika, sayapnya buatan pabrik Mitsubishi dari Jepang, horizontal stabilizer-nya buatan pabrik Alenia dari Italia, dan mesinnya hasil kerja sama GE dari Amerika dan Rolls-Royce dari Inggris. Karena itulah, walaupun Boeing ini secara resmi disebut buatan Amerika, tetapi sebenarnya banyak komponennya yang berasal dari negara-negara lain. Maka, kemampuan kita untuk menjalin kerja sama dengan orang lain menjadi semakin penting saat ini. Tidak bisa lagi kita bersikap arogan dan menutup diri karena merasa paling unggul. Sekali lagi ingat, bukan hanya IQ yang penting, namun juga EQ dan SQ.

Lanskap new wave memang telah menjadi globosphere yang sifatnya 3 dimensional. Setiap orang atau pihak bisa saling berganti peran dengan cepatnya. Sekarang menjadi change agent, satu jam kemudian menjadi pesaing (competitor), setengah jam lagi berperan jadi pelanggan (customer), dan beberapa saat kemudian sudah jadi connector. Jadi, sekarang lanskapnya bukan lagi lanskap yang bersifat dua dimensional yang dilihat dari atas (top-down perspective). Bukan lagi lanskap yang statis dengan peran-peran yang sudah tetap.

Inilah lanskap new wave yang seperti galaksi tanpa batas. Tantangan yang ada di depan semakin sulit diprediksi. Karena itu, kita akan semakin membutuhkan kerja sama dengan orang lain untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. New wave marketer juga harus bisa memanfaatkan teknologi untuk lebih mengoptimalkan kerja sama tersebut.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya Sumber : www.kompas.com

Selanjutnya..... Selanjutnya...

New Wave Marketing: Humanizing Human Being

Ada yang bertanya kepada saya, darimana datangnya semua gagasan tentang New Wave Marketing (NWM) ini? Jawabannya sederhana saja. Semua ide ini berasal dari pengamatan saya terhadap praktik yang terjadi di lapangan. Saya pun sering berdiskusi dengan banyak orang—termasuk dengan tim saya di MarkPlus, Inc—sehingga konsep ini bisa semakin tajam.
Dan tentu yang terpenting adalah praktiknya secara langsung. Saya selalu bilang, practice what you preach, praktikkan apa yang kita ucapkan. Karena itulah, baik secara individu maupun secara korporat, saya juga telah mempraktikkan konsep NWM ini. Lewat Facebook misalnya, saya bisa mendapatkan banyak relasi yang sebagian berujung kepada relasi bisnis. Saya juga mendapatkan banyak masukan lewat e-mail sehingga bisa semakin memperkaya dan memperluas pengetahuan saya tentang praktik NWM.



Nah, sewaktu berkunjung ke Amerika dari pertengahan Oktober sampai awal November lalu, saya pun mengamati praktik pemasaran yang ada di sana. Saya sudah cerita bukan, apa yang saya dapat sewaktu di Starbucks, Mayo Clinic, dan IBM di kota Rochester? Kali ini saya mau cerita tentang pertemuan saya dengan sejumlah orang di Amerika. Banyak insight yang saya dapatkan. Sebaliknya, saya juga tidak lupa menyebarkan “virus” NWM ini agar mereka juga tahu bahwa kita di Indonesia selalu update dengan perkembangan mutakhir dunia pemasaran.



Salah satu yang sempat saya temui adalah Marcia Jaffe. Saya bertemu dia pada acara dining-talk di Sausalito, di kawasan Bay Area, San Francisco. Tempat ini letaknya persis di tepi jembatan Golden Gate yang terkenal itu. Jaffe ini adalah pendiri dan presiden Bali Institute for Global Renewal (BIGR) yang ada di Ubud. Karena itu, ia menghabiskan waktunya separuh di Ubud, separuh di Sausalito.



Jaffe juga sempat menyelenggarakan konferensi global “Quest for Global Healing” di Bali pada Mei 2006 lalu yang dihadiri antara lain oleh Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan dan Edgar Mitchell, mantan astronot Apollo 14 yang merupakan orang keenam yang pernah berjalan di bulan. Jaffe bercerita bahwa aktivitas lintas negara dan lintas generasi seperti yang dijalankannya semakin banyak dilakukan di berbagai penjuru dunia.



Beberapa hari kemudian, saya juga sempat berkunjung ke Global Leadership Institute di University of Nebraska-Lincoln (UNL). Di situ saya bertemu dengan Prof. Sang M. Lee, pimpinan Departemen Manajemen dan pengajar program MBA di UNL, dan Prof. Fred Luthans, pakar Organizational Behaviour.



Prof. Luthans ini terkenal dengan konsep Psychological Capital (PsyCap)-nya yang pada dasarnya terdiri dari empat elemen yaitu hope, efficacy, resilience, dan optimism, yang biasa disingkat HERO. Prof. Luthans berpendapat bahwa pada dasarnya manusia itu punya yang namanya trait-like dan state-like. Banyak program pelatihan sumber daya manusia yang tidak sukses karena menekankan kepada trait-like. Padahal trait-like ini cenderung tetap dan sulit diubah ketika seseorang sudah mencapai usia 30 tahun. Namun, state-like masih bisa diubah. State-like inilah yang menjadi fokus dari PsyCap dengan HERO-nya tadi itu.



Lalu, selain bertemu Marcia Jaffe, Prof. Sang M. Lee, dan Prof. Fred Luthans tadi, saya juga sempat berkunjung ke FBI Academy di Quantico, Virginia. Saya juga sempat berdiskusi dengan para staf Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) dan perwakilan mahasiswa Indonesia di Chicago.



Dan, menjelang kepulangan saya ke Indonesia, tentu saya juga sempat berdiskusi dengan Philip Kotler di Kellogg School of Management at Northwestern University.



Nah, banyak cerita yang sebenarnya bisa saya sampaikan dari pertemuan dengan sejumlah orang tadi. Namun, karena keterbatasan tempat, tentu saya tidak bisa menceritakan semuanya. Namun, ada benang merah yang bisa saya sampaikan.



Saya semakin mendapatkan pemahaman bahwa New Wave Marketing itu sebenarnya menempatkan manusia sebagai fokus utama, dengan didukung dan diperantarai teknologi terutama Web 2.0. Teknologi inilah yang membuat kita bisa tetap beradab (civilized) di tengah gaya hidup yang berubah. Kita bisa tetap menjalin relasi dengan para teman dan kerabat kita secara online dan mobile walaupun kesibukan kita semakin padat. Walaupun sendirian, kita tetap tidak merasa terasing karena bisa dengan cepat menghubungi teman atau mengetahui aktivitas kerabat kita hanya dengan mengetik di laptop atau ponsel.



Kita juga semakin bisa menempatkan diri dalam posisi yang sejajar dengan orang lain, tanpa peduli status, usia, agama atau warna kulit. Kita bisa semakin menghargai orang lain karena menyadari bahwa kita sama-sama saling membutuhkan. Karena itu, New Wave Marketing dengan segenap kecanggihan teknologinya akan membuat kita semakin manusiawi, menjadi manusia yang utuh dan seimbang.



-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya Sumber : www.kompas.com

Selanjutnya..... Selanjutnya...

16 November, 2008

Benarkah Pelanggan Anda Adalah Raja?

Pepatah lama mengatakan: Pelanggan Adalah Raja! Dan jika bicara mengenai hal yang satu ini, siapapun yang merasa sebagai pebisnis - entah kecil-kecilan atau level korporasi raksasa - pasti akan mengamini pepatah tersebut. Pelanggan atau pelanggan adalah sumber penghidupan utama bagi setiap bisnis, dari merekalah semua kegiatan bisnis menerima aliran darah segar yang disebut oleh para ahli keuangan jaman sekarang sebagai 'arus kas positif' yang memberikan energi bagi aktivitas entitas-entitas bisnis yang menjalankannya.

Karena itu dapat dimengerti apabila sebagian besar aktivitas dan sumber daya dari entitas-entitas bisnis yang didapuk pada pundak divisi marketing dan penjualan dicurahkan untuk 'mengamankan' atau mempertahankan jumlah pelanggan yang dimiliki, tentu saja agar bisnis dapat bertahan dan terus bertumbuh.

Bicara soal 'mengamankan' pelanggan, berarti kita bicara bagaimana memuaskan mereka dan menjaga, bahkan bila mungkin meningkatkan tingkat kepuasan tersebut. Seluruh pebisnis yang sadar betul akan pelanggan mereka sebagai asset pasti akan melakukan hal ini. Akan tetapi, upaya ini juga bukan tanpa konsekuensi. Pelanggan kita yang pastinya adalah manusia juga itu, memiliki sifat-sifat dasar yang persis sama jika menyangkut tentang kepuasan: Bila sudah mencapai tingkat kepuasan tertentu, mereka ingin lebih dan lebih lagi. Dari sudut pandang humanis (apalagi hedonis) hal ini tentu saja lumrah, namanya juga manusia. Tetapi dari sisi pengelolaan perusahaan, entitas bisnis menanggung konsekuensi untuk mengeluarkan BIAYA yang tidak sedikit demi memuaskan pelanggannya.

Tentu saja, mengacu kepada argumentasi di awal, bahwa biaya itu memang harus dikeluarkan untuk menjaga keutuhan asset pelanggan dari entitas bisnis. Akan tetapi, hal ini sebenarnya masih dapat dikritisi lebih jauh lagi alias bukan lagi hal yang sifatnya taken for granted. Pertanyaan penting mengenai hal ini adalah "Apakah biaya yang saya/kita keluarkan sepadan dengan hasil yang kita dapatkan?" Disinilah pentingnya bagi seorang marketer untuk juga mampu memahami indikator-indikator yang biasa digunakan oleh para analis keuangan. Pertanyaan ini menjadi penting karena setelah dianalisis lebih jauh, biaya marginal yang harus dikeluarkan untuk mempertahankan seorang pelanggan dengan cara memuaskan mereka dapat saja lebih tinggi daripada kontribusi pelanggan itu sendiri.

Dari pemikiran ini, kemudian berkembang pemikiran untuk 'memilah' pelanggan menjadi kategori-kategori tertentu. Dengan memilah pelanggan, upaya dan biaya yang dikerahkan untuk memuaskan mereka dapat menjadi lebih terfokus pada kategori-kategori tertentu yang memang memberikan dampak yang signifikan terhadap penjualan dan pertumbuhan arus kas perusahaan.

Salah satu konsep untuk memilah dan memetakan pelanggan tersebut adalah konsep "Value of Customer vs Value to Customer" dari Gupta & Lehman (2005). Value of Customer adalah indikator seberapa tinggi nilai yang diberikan oleh pelanggan kepada perusahaan, sementara Value to Customer berbicara mengenai seberapa tinggi nilai dari produk dan/atau layanan yang diberikan oleh perusahaan kepada pelanggan.

Value OF Cust

High


1. VULNERABLE CUSTOMER








4. STAR





2. LOST CAUSES





Low




3. FREE RIDER





High


Value TO Cust.

Pada kategori yang pertama, yaitu "Vulnerable Customer", di mana pelanggan memiliki nilai atau kontribusi yang tinggi bagi perusahaan, namun pelanggan tersebut hanya menerima nilai produk atau layanan yang rendah dari perusahaan. Pelanggan dengan kategori seperti ini sangat potensial untuk menjadi pelanggan kecewa dan beralih pada produk lain. Apabila terjadi hal seperti itu, maka itu berarti potensi kerugian bagi perusahaan, mengingat kontribusi pelanggan seperti ini cenderung tinggi.

Kemudian kategori kedua, "Lost Causes", yaitu pelanggan yang memberikan kontribusi yang rendah pada perusahaan dan pelanggan tersebut juga hanya menerima produk atau layanan 'seadanya'. Tipikal pelanggan seperti ini tentu tidak tepat untuk diberikan treatment marketing yang jor-joran apabila kita mengharapkan peningkatan kontribusi pelanggan.

Kondisi yang lebih buruk terjadi pada kategori "Free Rider", yaitu pelanggan yang hanya memberi kontribusi rendah tetapi karena satu dan lain hal menikmati layanan 'berlebih'. Memelihara pelanggan seperti ini cenderung hanya akan mengikis kas perusahaan dan menghalangi perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan yang lain.

Sementara kategori pelanggan yang terakhir adalah pelanggan yang benar-benar merupakan Raja bagi perusahaan. Pelanggan seperti ini memberikan kontribusi yang tinggi sekaligus juga menerima layanan tingkat dan produk dengan nilai yang tinggi dari perusahaan. Contoh pelanggan seperti ini adalah nasabah priority banking dan penumpang pesawat kelas eksekutif. Jumlah mereka biasanya tidak terlalu besar, namun memberi kontribusi yang signifikan terhadap revenue perusahaan.

Dengan demikian, apabila anda sudah merencanakan untuk mengalokasikan anggaran dan program untuk memuaskan dan mempertahankan pelanggan anda dengan memperlakukan mereka sebagai raja, yakinkan bahwa anda hanya memperlakukan raja yang sebenarnya sebagai raja!

Inu Machfud R
Research & Consultant Head BMI Research Jakarta

(//mbs)

(sumber : www.okezone.com)

Selanjutnya..... Selanjutnya...

06 November, 2008

The Matrix: Always Connected, or Die!

KALAU bicara soal dunia Internet, mustahil untuk melewatkan trilogi film The Matrix. Inilah film yang membedah masalah teknis dan filosofi dalam dunia cyber. Film garapan dua bersaudara Larry dan Andy Wachowski ini sudah menjadi cult film bagi para geeks seperti para hacker dan cyberpunk.
Film fiksi-ilmiah ini ceritanya memang agak-agak rumit; secara garis besar berpusat tokoh jagoan utamanya, Neo alias “The One”, yang diperankan oleh Keanu Reeves. Ia mati-matian melawan para musuhnya, baik itu berupa mesin, manusia, dan terutama “manusia” virtual. Untuk menghadapi para musuh ini, Neo harus keluar-masuk dunia nyata dan dunia virtual.
Memang, dunia nyata dan dunia virtual dalam film ini keduanya digambarkan berdampingan secara paralel. Jika ingin masuk ke dunia virtual, Neo dan rekan-rekannya harus dipasangi sebuah mesin yang disambungkan ke otak mereka. Sementara jika mereka sedang di dunia virtual dan ingin kembali ke dunia nyata, mereka harus mengangkat panggilan telepon yang berasal dari rekan mereka di dunia nyata.
Ketika para tokoh ini ada di dunia virtual, tubuh fisiknya tetap ada di dunia nyata (yang tersambung ke mesin tadi), namun “roh”-nya ada di dunia virtual. Walaupun dunianya sudah terpisah, antara tubuh fisik dan “roh” ini sebenarnya masih menyatu. Jika “roh”-nya yang sedang bertarung melawan para musuh di dunia virtual terluka atau mati, tubuh fisiknya juga bisa terluka dan mati. Sebaliknya, jika tubuh fisiknya terputus sambungannya dengan mesin, “roh”-nya bisa mati.
Nah, The Matrix ini bisa memberikan inspirasi bahwa di era New Wave Marketing ini koneksi (connection) antara dunia virtual (online) dan dunia nyata (offline) harus selalu tersambung tanpa jeda dan putus, always-on connection. Koneksi ini juga harus berupa mobile connection, bukan lagi fixed connection. Karena itu pula dibutuhkan mobile connector agar kita bisa semakin mudah mengakses perubahan-perubahan yang terjadi di lanskap bisnis.
Mobile connector ini bentuknya bisa berupa telepon seluler, laptop, smartphone ataupun perangkat lainnya yang bisa membuat orang melakukan koneksi online secara wireless, misalnya saja perangkat Kindle dari Amazon.com.
Saat ini memang semakin banyak orang yang menjadi road warrior. Lokasi kerja tidak lagi terbatas di kantor, tapi bisa di rumah, di kafe-kafe, di tempat klien, atau bahkan ketika sedang di jalan mengendarai mobil.
Hal ini juga didorong oleh kemajuan teknologi yang membuat perangkat mobile connector semakin nyaman digunakan. Laptop semakin lama beratnya semakin ringan dan daya hidup baterainya juga semakin lama. Smartphone juga semakin mudah digunakan dan fitur-fiturnya semakin mendukung akses Internet. Pendeknya, dari sisi penawaran dan permintaan terhadap mobile connector ini sudah saling mendukung.
Berdasarkan offering-nya, mobile connector ini bisa dibagi menjadi tiga tipe, yaitu Ad-based, Content-based, dan Reward-based. Ad-based adalah berbagai bentuk iklan yang ditawarkan melalui mobile connector kita. Bentuknya bisa berupa teks seperti SMS, gambar, foto, atau bisa juga berupa video.
Namun, mengutip istilah Seth Godin, tentu saja sudah harus berupa permission marketing, bukan lagi interruption marketing. Iklan-iklan yang masuk ke telepon seluler atau ke laptop saat sedang online sedapat mungkin tidak mengganggu dan malah menguntungkan si pemakai.
Hal ini sudah dipraktikkan Virgin Mobile di Amerika tahun 2007 lalu. Operator seluler ini menawarkan pengguna untuk memilih antara menerima iklan SMS atau melihat iklan video 45 detik ketika browsing Internet di ponsel mereka. Sebagai imbalan, mereka mendapatkan talk-time gratis selama 1 menit. Dan bagi mereka yang mau mengisi kuesioner online akan mendapatkan tambahan talk-time gratis selama 5 menit.
Content-based merupakan layanan yang menawarkan konten kepada si pemakai. Misalnya saja yang paling populer adalah ring back tone. Atau kalau di iPhone adalah aplikasi-aplikasi seperti iLightr yang bisa menampilkan nyala api seperti dari korek api untuk dilambai-lambaikan saat konser musik atau Koi Pond yang menampilkan ikan koi yang sedang berenang di kolam.
Sementara reward-based adalah layanan-layanan yang memberikan reward, bukan hanya kepada pelanggan namun juga kepada merchant dalam bentuk diskon atau akumulasi poin. Program MORE (mobile rewards exchange) dari inTouch-nya Pak Kendro Hendra merupakan contoh yang paling nyata dari reward-based ini.
Memang, mobile connector ini telah menjadi salah satu elemen penting dalam lanskap New Wave. Mobile connector sebagai bagian dari Connector membuat perusahaan (Company) semakin mampu mengakses ketiga elemen lainnya: Change, Competitor, dan Customer. (www.kompas.com)
--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Selanjutnya..... Selanjutnya...

When Coke Zero Meets Silent Disco

SAYA ini sebenarnya jarang keluar malam karena kesibukan yang sudah terlalu padat sepanjang hari. Tapi, saya pernah mbela-belain keluar malam untuk urusan dugem. Waktu itu, tepatnya tanggal 23 Februari, saya diajak oleh staf saya di MarkPlus untuk melihat event Playground Festival 2008 di Pantai Karnaval, Ancol. Acara ini merupakan acara tahunan dari klub terkenal di Jakarta, Embassy.

Nah, sekitar pukul 11 malam pun saya meluncur ke Ancol. Sampai di sana, ternyata acaranya sudah dimulai. Saya diberitahu seorang panitia, kira-kira ada sekitar 25 ribu orang yang datang. Mereka ini datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa sampai eksekutif, mulai dari yang masih muda sampai ke yang sudah cukup berumur namun masih berjiwa muda.

Bintang utama malam itu tentu saja Paul van Dyk, salah satu disk jockey (DJ) terkenal di dunia. Ada juga sejumlah penampil lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri. Pendeknya, malam itu benar-benar merupakan pestanya para clubbers.

Yang paling menarik bagi saya dari line-up yang ada saat itu adalah penampilan Silent Disco dari Belanda. Berbeda dengan arena lainnya, di sini saya tidak mendengar suara musik sama sekali. Para clubbers yang ada di situ cuma joget-joget sambil mengenakan wireless headphone. Ternyata, musik yang ditampilkan oleh Silent Disco disiarkan melalui sebuah pemancar dan diterima lewat wireless headphone tadi. Para clubbers ini lalu memilih salah satu channel dari dua DJ Silent Disco yang tampil.

Unik, bukan? Yang tak kalah menarik, penampilan Silent Disco ini disponsori oleh Coca-Cola (Coke) Zero. Semua orang yang ada di situ dibagikan minuman ini secara cuma-cuma. Saking asyiknya menikmati suasana, sampai-sampai saya baru pulang jam 4 pagi! Nah, apa yang bisa kita pelajari dari sini?

Ini menunjukkan bahwa Coke Zero ingin membangun koneksi (connection) dengan para pelanggannya dengan menggunakan apa yang disebut sebagai Experiential Connector. Karena, kalau tidak begitu, merek Coke yang sudah berusia ratusan tahun bisa jadi tua alias jadi merek yang vertikal. Kita juga bisa lihat, kenapa Coke Zero mau mensponsori Silent Disco. Kata “silent” dan “zero” sebenarnya memiliki kemiripan makna, yaitu ketidakadaan sesuatu. Silent Disco menampilkan suasana pesta dugem tanpa hingar-bingar suara, sementara Coke Zero menyuguhkan Coke yang tanpa gula.

Jadi, selain mobile connector yang bersifat online, yang sudah dijelaskan di tulisan sebelumnya, yang tidak kalah pentingnya adalah membangun intimacy lewat acara-acara offline. Inilah yang disebut experiential connector. Experiential Connector ini sendiri bisa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Event-based, Screen-based, dan Identity-based.

Event-based adalah jenis experiential connector yang paling banyak dipakai oleh para marketers saat ini. Contohnya seperti kolaborasi antara Coke Zero dan Silent Disco tadi. Sementara, screen-based mencoba membangun pengalaman (experience) lewat media layar, baik itu berupa layar komputer, layar ponsel, layar bioskop, layar video game, atau layar lainnya.

Dalam buku Sisomo: The Future of Screen, Kevin Roberts, CEO Worldwide Saatchi & Saatchi, mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah terkepung oleh berbagai layar sehingga bisa dikatakan sekarang adalah The Screen Age. Berbagai layar ini menciptakan pengalaman unik bagi para pemirsanya (viewer). Jika dulu kita hanya mengenal layar televisi dan layar bioskop yang lebih bersifat komunal, sekarang kita mengenal layar komputer dan layar ponsel yang sifatnya lebih personal.

Lalu, jenis experiential connector ketiga, identity-based, merupakan koneksi yang dibangun oleh marketer untuk memberikan identitas kepada merek atau perusahaannya lewat berbagai aktivitas pemasaran yang dilakukan. Bentuk identity-based ini sangat beragam. Bisa berupa event yang sudah merupakan signature program dari sebuah merek, misalnya saja program I Like Monday dari Hard Rock CafĂ© Jakarta atau Victoria’s Secret Fashion Show. Bisa juga berupa sponsorship seperti yang dilakukan Ferrari di lomba balap mobil Formula 1. Atau berbagai aksi nyeleneh dari Sir Richard Branson—misalnya saja ketika ia hampir telanjang bulat ketika meluncurkan Virgin Mobile di Times Square di New York—yang memberikan identitas yang unik kepada Virgin Group.

Bisa kita lihat, Experiential Connector lewat program-program offline ini lebih bisa membangun intimacy, yang mungkin agak sulit dibangun dalam dunia online (mobile connector) yang biasanya lebih bersifat excitement. Jadi, Experiential Connector inilah—selain Mobile Connector—yang pada dasarnya berfungsi sebagai penghubung (connector) antara berbagai elemen lainnya yang ada di lanskap New Wave. (www.kompas.com)
--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Selanjutnya..... Selanjutnya...

A Tale of Three Communities: Harley-Davidson, Facebook and HTML

Jumat, 10 Oktober 2008 | 06:57 WIB


“So screw it, let’s ride.” Maaf sebelumnya kalau kata-katanya sedikit ofensif. Tapi, tahukah Anda, siapakah yang mengatakan kalimat tadi? Itulah slogan terbaru dari Harley-Davidson (Harley) yang diluncurkan pada awal Mei 2008 lalu. Kalimatnya memang sedikit ofensif, namun hal ini justru cocok dengan citra pemberontak yang melekat pada perusahaan motor besar asal Milwaukee tersebut.

Slogan tersebut memang mengacu kepada situasi ekonomi Amerika yang kurang baik. Dengan slogan ini, Harley seolah ingin menyatakan, tak usah terlalu mempedulikan situasi saat ini. Nikmatilah hidup dengan mengendarai Harley. Padahal, Harley sendiri juga sedang mengalami masalah. Penjualannya di Amerika menurun hampir 13% selama Q1 2008 lalu.

Harley memang sangat memperhatikan para pelanggannya. Dengan berbagai program pemasarannya, termasuk salah satunya dengan membuat slogan baru tadi, Harley mampu menjalin ikatan emosional dengan para pelanggannya. Harley mampu berempati terhadap apa yang dirasakan oleh pelanggannya. Seperti kata salah seorang pengendara Harley, Ben Berlin, yang sudah berusia 82 tahun dan telah mengendarai Harley selama 60 tahun. Ia bilang, kalau sudah mengendarai Harley, berbagai masalah seakan bisa dilupakan untuk sejenak.

Karena berhasil meraih hati pelanggan ini, tak heran jika Harley bisa memiliki komunitas fanatik yang tergabung dalam Harley Owners Group (HOG). Semula, komunitas ini dibentuk pada tahun 1983 oleh pabrikan Harley di Amerika. Seiring dengan waktu, para anggotanya sendiri yang terdorong untuk membesarkan HOG ini. Karena itu, tidak heran jika saat ini anggota HOG sudah mencapai lebih dari sejuta orang pada lebih dari 1400 chapters di seluruh dunia. HOG memang merupakan contoh klasik dari pembentukan komunitas offline yang sukses.

Sekarang, bagaimana dengan komunitas online? Salah satu contoh sukses tentu saja adalah Facebook. Situs social media yang belum genap berusia 5 tahun ini—Mark Zuckerberg meluncurkan Facebook dari kamar asramanya di Harvard University pada 4 Februari 2004—perkembangannya sangat luar biasa. Saat ini saja jumlah anggota aktifnya sudah mencapai 110 juta orang! Padahal, pada Desember 2004, jumlah anggota aktifnya baru mencapai 1 juta orang.

Perkembangan ini didorong oleh kemudahan menggunakan berbagai aplikasi dan fitur yang ada di Facebook. Selain itu, informasi pribadi dari tiap anggotanya tetap terlindungi dengan baik. Tiap anggota bisa menentukan informasi apa yang ingin di-share, dan kepada siapa saja informasi tersebut ingin di-share. Karena itu, tiap anggota bisa merasa nyaman dan aman mempublikasikan informasi pribadinya tanpa terlalu takut disalahgunakan.

Facebook memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para anggotanya. Setiap saat mereka mengakses situs ini untuk mengetahui kabar terbaru dari rekan-rekannya. Facebook bukan lagi sekadar situs web, namun sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Perkembangan Facebook juga tidak terlepas dari jasa komunitas developer yang membangun berbagai aplikasi dengan menggunakan Facebook Platfom. Dengan demikian, perusahaan yang berpusat di Palo Alto, California, ini tidak perlu membuat sendiri berbagai aplikasi untuk para anggotanya.

Komunitas Harley-Davidson dan Facebook ini adalah contoh Social Connector. Social Connector berbasis komunitas inilah yang menjadi jenis Connector ketiga setelah Mobile Connector dan Experiential Connector yang sudah dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Nah, selain Harley-Davidson yang bersifat pure offline dan Facebook yang pure online, masih ada satu lagi jenis Social Connector ini, yaitu yang merupakan hibrida antara online dan offline. Salah satu contohnya adalah Komunitas Honda Tiger Indonesia, atau yang online community-nya lebih dikenal sebagai Honda Tiger Mailing List (HTML).

Komunitas ini dibentuk pertama kalinya pada 18 Oktober 2000, yaitu saat milis HTML tersebut dibuat. Berbeda dengan HOG tadi, komunitas ini dibentuk dari bawah, dari para pemilik dan penggemar motor Honda Tiger sendiri. Berawal dari online community inilah, HTML kemudian juga masuk ke offline community, dengan secara rutin mengadakan pertemuan; atau istilahnya kopi darat (kopdar). Karena aktif baik secara online maupun offline inilah, komunitas Honda Tiger bisa berkembang menjadi salah satu komunitas terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota milisnya mencapai lebih dari 8000 orang.

Bisa kita lihat, berbagai komunitas di atas—HOG, Facebook, HTML—mampu memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap lanskap bisnis. Inilah yang menunjukkan peranan Connector—dalam hal ini Social Connector—dalam lanskap New Wave Marketing.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas -- (www.kompas.com)


Hermawan Kartajaya

Selanjutnya..... Selanjutnya...

Be a Sniper, not a Rambo

DALAM berbagai kesempatan saya selalu mengatakan bahwa marketer itu harus bertindak layaknya seorang penembak jitu (sniper), bukan Rambo. Apa maksudnya?

Seorang penembak jitu selalu berupaya agar tiap peluru yang ditembakkannya tepat mengenai sasaran. Ia tidak akan membuang-buang peluru karena memang amunisinya terbatas. Karena itu seorang penembak jitu akan selalu mempelajari sasarannya dengan cermat terlebih dahulu. Kemudian barulah penembak jitu ini akan mencari waktu dan lokasi yang tepat untuk membidik sasarannya itu.

Sebaliknya dengan Rambo. Ia akan menembak membabi-buta ke segala penjuru. Karena amunisinya banyak, ia tidak peduli jika sebagian besar pelurunya justru tidak mengenai sasaran. Ia juga tidak mau repot-repot mempelajari sasarannya; pokoknya asal ketemu, tembak saja langsung sebanyak-banyaknya.

Nah, demikian juga marketer. Di era New Wave ini tidak bisa lagi sembarangan mengobral sumber daya, baik itu berupa uang, waktu, orang, fasilitas, dan sebagainya. Karena itu, marketer harus punya konsep yang benar tentang marketing. Bagi saya, marketing itu seharusnya ditulis market-ing, sebagai kata kerja, bukan kata benda. Kalau marketing sebagai kata benda artinya “fungsi pemasaran”, sementara kalau marketing sebagai kata kerja artinya “memasarkan”.

Kalau memasarkan itu yang penting menuju ke pasar, tujuannya pasar. Kalau sudah punya paradigma berpikir seperti ini, maka semua orang di dalam perusahaan perlu mengerti pasar. Orang R&D perlu mengerti pasar, orang produksi perlu mengerti pasar, orang accounting perlu mengerti pasar, dan seterusnya.

Selain itu, penambahan akhiran “ing” pada suatu kata dalam bahasa Inggris menunjukkan bahwa aktivitasnya sedang berlangsung (present continuous). Ini bermakna bahwa yang paling penting dalam marketing itu adalah memperhatikan dengan cermat perubahan lanskap yang sedang terjadi.

Dalam marketing, yang penting juga bukan cuma tentang market share, namun tentang mind share dan heart share juga. Inilah kelemahan sebagian marketer, banyak yang bingung kalau market share-nya turun. Orientasi terhadap market share semata ini membuat mereka lantas melakukan berbagai upaya agar market share-nya bisa naik lagi. Ada yang banting-bantingan harga, ada yang langsung memberikan margin atau diskon nggak karuan ke distributor, ada juga yang melakukan promosi atau aktivitas brand building secara besar-besaran.

Padahal market share saja tidak cukup kalau tidak ada mind share dan terutama heart share. Orientasi kepada market share semata bisa mengakibatkan terjadinya marketing myopia, tidak ada orientasi jangka menengah dan panjang. Apalagi kalau anggarannya tanggung, bisa-bisa orientasi mengejar market share akan berakibat fatal. Market share tidak kunjung didapat, uang terlanjur habis. Jadi, long-term profit baru akan terjadi kalau marketer bisa menang di market share, mind share, dan heart share. Caranya adalah dengan menerapkan sembilan elemen marketing.

Marketer bisa memenangkan mind share melalui penerapan Segmentasi, Targeting, dan Positioning (STP) yang tepat. Menguasai market share bisa dicapai lewat Differentiation, Marketing-Mix, dan Selling (DMS) yang kreatif. Sementara untuk bisa meraih heart share, marketer harus memiliki Brand, Service, dan Process (BSP) yang kuat. Dan, sekali lagi saya katakan, sebagai inti dari sembilan elemen marketing ini adalah Positioning, Differentiation, dan Brand (PDB).

Kalau sebuah brand sudah punya positioning dan differentiation yang kuat, sebenarnya ia tidak perlu terlalu kuatir jika terjadi masalah penurunan market share. Kalau brand itu masih kuat di mind share dan heart share-nya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama brand ini akan mampu meningkatkan kembali market share-nya tanpa perlu mengeluarkan biaya yang terlalu besar.

Hal ini bisa kita lihat misalnya pada Mizone. Minuman isotonik ini sempat didera isu bahwa produknya mengandung unsur yang berbahaya terhadap kesehatan. Market share-nya juga sempat turun. Namun, karena isu itu tidak benar dan juga PDB-nya sudah kuat, Mizone bisa pulih kembali.

Begitu pula yang terjadi pada Softex. Pembalut wanita ini sempat mengalami penurunan kinerja karena terlambat melakukan rejuvenasi dan juga diserang oleh para pesaingnya yang muncul belakangan. Namun, karena mind share dan heart share-nya sudah sangat kuat—Softex ini sudah nyaris jadi nama generik untuk kategori pembalut wanita—brand ini bisa bangkit lagi dan market share-nya bisa tumbuh secara siginifikan.

Jadi, jangan terlalu panik jika market share Anda turun. Jangan lantas melakukan berbagai cara tanpa melihat dulu mind share dan heart share Anda. Apalagi di tengah lanskap New Wave saat ini yang semakin diwarnai berbagai perubahan yang tidak pasti.

--- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

Selanjutnya..... Selanjutnya...

Greed is (not) Good: Lessons from Wall Street

GONJANG-ganjing dunia keuangan global belakangan ini mengingatkan saya pada salah satu film terkenal era 1980-an, Wall Street. Kalau Anda belum tahu, film yang disutradarai Oliver Stone ini menceritakan sepak-terjang seorang broker saham bernama Bud Fox yang diperankan oleh Charlie Sheen dan seorang corporate raider bernama Gordon Gekko yang diperankan oleh Michael Douglas.

Dalam film ini diceritakan bagaimana Fox yang masih muda dan ambisius mengidolakan Gekko yang sudah sangat berpengalaman dan sangat sukses di Wall Street. Fox pun berupaya setengah mati agar bisa bekerja bersama Gekko. Keinginannya ini akhirnya terkabul. Namun, Gekko ternyata bukan orang baik; ia sangat tamak dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Fox pun terpancing untuk melakukan tindakan ilegal.

Akhirnya Fox pun ditangkap secara dramatis di kantornya. Fox kemudian terpaksa bekerja sama dengan para penegak hukum yang meminta Fox menyadap pembicaraannya dengan Gekko agar Gekko juga bisa ditangkap. Inilah film yang menggambarkan betapa ganasnya rimba Wall Street. Dalam film ini ada satu kalimat dari Gekko yang kemudian menjadi sangat terkenal, “greed, for lack of a better word, is good.”

Buat saya, film ini bisa menggambarkan bahwa marketing pun diperlukan di pasar modal, bukan hanya di pasar komersial. Marketer yang butuh pelanggan (baca: investor) di pasar modal perlu menerapkan strategi marketing yang tepat agar bisa mendapatkan orang-orang yang benar-benar mau jadi investor bisnis kita dalam jangka panjang, bukan spekulan yang hanya mau mencari keuntungan jangka pendek dan tidak peduli terhadap bisnis kita.

Dalam buku Attracting Investors: A Marketing Approach to Finding Funds for Your Business, yang saya tulis bersama Philip Kotler dan Prof. David Young dari INSEAD, kami berpendapat bahwa untuk mendapatkan investor yang tepat, maka marketer harus mampu menawarkan value proposition yang kuat yang dinyatakan dalam positioning, differentiation, dan brand (PDB) perusahaan yang bersangkutan.

Sebaliknya, investor pun perlu mempelajari PDB perusahaan yang bersangkutan. Jika PDB-nya kuat, berarti perusahaan tersebut pada dasarnya punya fondasi bisnis yang kuat. Investor tidak perlu terlalu kuatir jika terjadi fluktuasi harga saham seperti akhir-akhir ini. Memang, di lanskap New Wave yang ditandai dengan arus informasi yang semakin deras ini, isu sekecil apapun akan dengan cepat merambah ke mana-mana. Tak heran jika krisis keuangan yang terjadi di Amerika kemudian dengan cepat menular ke Eropa dan membuat pasar modal di Asia juga ikut terkena imbasnya.

Jadi, sekali lagi saya ingin menekankan, marketing itu sebenarnya bisa dimanfaatkan pada semua aspek bisnis. Marketing bukan hanya berurusan dengan pasar komersial (commercial market), namun juga dengan pasar modal (capital market). Di pasar komersial sendiri, marketing bukan hanya bisa diterapkan di sektor business-to-consumer (B2C), namun juga di sektor business-to-business (B2B).

Sektor B2B selama ini memang masih banyak dipersepsi tidak terlalu memerlukan strategi marketing, seperti yang terjadi dalam industri consumer goods. Sektor B2B dianggap hanya butuh hal-hal yang sifatnya teknis dan rutin-prosedural belaka. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Jangan lupa kalau di lanskap B2B juga ada faktor-faktor Competitor, Customer, Change Agents, dan Connector. Karena itu, di sektor B2B pun perlu diterapkan marketing agar bukan hanya mampu memenangkan market share, tapi juga mind share dan heart share.

Lihat saja yang dilakukan Holcim. Produsen semen ini melakukan sejumlah langkah marketing yang inovatif yang biasanya dilakukan oleh sektor B2C. Holcim melakukan branding secara cukup gencar. Berbagai iklannya ada di televisi, media cetak atau media luar ruang. Di media online, Holcim juga telah membangun situs www.membangunbersama.com yang isinya antara lain berupa konsultasi dan tips membangun atau renovasi rumah.

Kemudian, untuk membangun loyalitas pelanggannya, Holcim juga membuat program Akademi Ahli Bangunan, program yang mengasah ketrampilan para ahli bangunan dalam membangun dan merenovasi sebuah proyek bangunan. Data para ahli bangunan ini tersedia di situs tadi sehingga mudah diakses oleh yang membutuhkan. Bisa kita lihat manfaat dari langkah kreatif seperti ini. Program ini dapat mempererat relasi antara pemilik rumah atau proyek dengan para ahli bangunannya serta juga meningkatkan loyalitas antara berbagai pihak itu dengan Holcim sendiri.

Jadi, di lanskap New Wave yang semakin tanpa batas ini, marketer harus bisa semakin memahami PDB-nya dan selalu optimis. Dengan demikian ia akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang ada dengan langkah-langkah yang kreatif. (www.kompas.com)

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --

Selanjutnya..... Selanjutnya...

The 12 Cs of New Wave Marketing


ERA New Wave Marketing memang sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Perkembangan peradaban manusia berjalan seiring dengan perkembangan teknologi. Dalam berbagai literatur seperti dalam The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness karya Stephen Covey, A Whole New Mind karya Daniel Pink, dan The Rise of the Creative Class karya Richard Florida, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya ada lima tahap perkembangan peradaban manusia.

Awalnya, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia berperan sebagai pemburu binatang atau pengumpul tumbuh-tumbuhan. Karena itu mereka hidup berpindah-pindah alias nomaden, tergantung ada di mana hewan buruannya itu atau di mana tumbuh-tumbuhan yang bisa dimakan. Di tahap ini manusia hanya mengenal teknologi yang sangat primitif seperti tombak, panah, pisau, dan sebagainya, yang dipakai untuk aktivitasnya tadi.

Kemudian, di tahap kedua, manusia mulai menetap dan bercocok tanam. Manusia sudah mengenal sistem pengairan dan cara membiakkan hewan ternak. Manusia sudah mampu mengolah lahan agar bisa subur untuk bercocok tanam. Pekerjaan manusia yang dominan di sini adalah bertani. Sampai pada masa inilah yang dikenal sebagai Era Agrikultural. Era agrikultural ini berlangsung kira-kira sampai pertengahan abad ke-19.

Di tahap ketiga perkembangan peradabannya, mulai tumbuh berbagai industri dengan mesin-mesinnya. Revolusi industri yang dipelopori oleh penemuan mesin uap oleh James Watt pada pertengahan abad ke-18 menandai hal ini. Pada Era Industrial inilah orang mulai banyak yang bekerja di pabrik. Orang juga mulai sering bepergian jauh setelah dibangunnya kapal yang modern dan juga diciptakannya pesawat udara. Era Industrial ini berlangsung kira-kira sejak pertengahan abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20.

Kemudian di tahap selanjutnya, mulai tumbuh adanya kebutuhan yang berbasis jasa (service-based) dan pengetahuan (knowledge-based). Karena itulah muncul berbagai bidang pekerjaan yang berhubungan dengan hal tersebut. Di bidang jasa tumbuh sektor perbankan untuk mendukung industri manufaktur dan juga bisnis penginapan/hotel untuk memenuhi kebutuhan orang yang mulai sering bepergian.

Setelah itu, pada dasawarsa 1980-an, bidang teknologi informasi mulai berkembang pesat yang ditandai dengan kehadiran personal computer (PC). Kehadiran PC ini membuat pengetahuan berkembang dengan sangat pesat karena PC memudahkan orang untuk mengakses informasi. Perkembangan peradaban manusia yang ditandai oleh lahirnya sektor jasa dan teknologi informasi inilah yang disebut sebagai Era Informasi, yang berlangsung dari pertengahan abad ke-20 sampai awal abad ke-21.

Dan saat ini, manusia mulai memasuki tahap perkembangan peradaban yang kelima, yaitu sebagai pekerja kreatif (creative worker). Akumulasi pengetahuan (reservoir of knowledge) yang sebelumnya sudah didapat pada Era Informasi menjadikan orang mampu melahirkan kebijakan (wisdom) untuk menciptakan berbagai hal yang jauh lebih kreatif. Era inilah yang merupakan eranya New Wave.

Jika sebelumnya kehadiran teknologi mendorong produktivitas (technology driving productivity), maka pada era New Wave ini teknologi yang ada mendorong lahirnya kreativitas (technology driving creativity). Perbedaannya dengan pada Era Informasi, teknologi pada Era New Wave mendorong tumbuhnya partisipasi. Semakin banyak orang yang bisa ter-connect satu sama lain untuk berpartisipasi, untuk belajar, dan untuk menciptakan sesuatu.

Seperti yang dikatakan Scott McNealy, Chairman Sun Microsystems, di Era Informasi alias Era Legacy Marketing, yang akan menguasai pasar adalah mereka yang mampu mengendalikan proses penciptaan dan pendistribusian informasi. Sementara di Era Partisipasi alias Era New Wave Marketing, yang penting adalah akses. Akses ini memungkinkan terciptanya value secara bersama melalui jaringan orang yang saling berbagi, berinteraksi, dan menyelesaikan masalah.

Karena itulah, elemen-elemen marketing yang selama ini kita kenal dalam Legacy Marketing juga harus mengalami penyesuaian. Sekadar mengingatkan, dalam Legacy Marketing dikenal Sembilan Elemen Marketing yang terdiri dari Segmentation, Targeting, Positioning, Differentiation, Marketing-Mix (Product, Price, Place, Promotion), Selling, Brand, Service, dan Process.

Nah, dalam New Wave Marketing, elemen-elemen tersebut menjadi apa yang saya sebut sebagai “The 12 Cs of New Wave Marketing”. Kedua belas C ini adalah Communitization, Confirming, Clarifying, Coding, Crowd-Combo (Co-Creation, Currency, Communal Activation, Conversation), Commercialization, Character, Caring, dan Collaboration.

Pada tulisan-tulisan selanjutnya saya akan menguraikan lebih lanjut tentang “The 12 Cs of New Wave Marketing” ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas -- (www.kompas.com)


Hermawan Kartajaya

Selanjutnya..... Selanjutnya...

KFC's Secret Recipe: Guarding the DNA

Rabu, 5 November 2008 | 07:22 WIB


ADA berita ringan dari KFC yang cukup mencuri perhatian saya awal September lalu. KFC saat itu sedang merencanakan untuk memperbaharui sistem pengamanan di lokasi penyimpanan aset paling berharganya: resep asli dari Kolonel Harland Sanders. Karena itu, resep asli yang disimpan di situ untuk sementara dipindahkan ke tempat lain agar tetap terjaga keamanannya.

Inilah untuk pertama kalinya—setelah beberapa dasawarsa—resep yang langsung ditulis tangan oleh Kolonel Sanders itu dikeluarkan dari ruang penyimpanannya di kantor pusat KFC. Relokasi sementara ini dilakukan agar karyawan perusahaan sistem pengamanan yang ditugaskan KFC bisa lebih leluasa bekerja tanpa harus mengusik rahasia terpenting KFC tersebut.

Resep ini sendiri ditulis pada sehelai kertas yang warnanya sudah kekuningan karena dimakan usia. Di dalamnya terdapat 11 jenis tanaman dan rempah-rempah, termasuk takaran bahan yang harus diracik. Resep ini ditulis dengan menggunakan pensil dan ditandatangani oleh Sanders.

Selain resep itu, di dalam ruang penyimpanan juga terdapat sejumput contoh tanaman dan rempah-rempah yang disimpan dalam botol kecil dengan bau yang sangat khas.
Sanders mulai mengembangkan resep ini pada tahun 1940 di restoran kecilnya di bagian Tenggara Kentucky. Ia kemudian menggunakannya sebagai resep standar yang harus digunakan pada setiap restoran ketika mulai meluncurkan jaringan KFC pada awal 1950-an.

Saking pentingnya rahasia yang sudah berumur 68 tahun ini, tidak setiap orang di KFC bisa mendapatkan akses ke ruang penyimpanan tadi. Dalam satu waktu, hanya ada dua orang saja yang punya akses ke tempat itu. Nama dan jabatan kedua orang ini juga hanya diketahui oleh segelintir orang.
Selain itu, untuk menjaga kerahasiaan dari sisi pemasok, KFC menggunakan banyak pemasok untuk mensuplai materi ramuan resep itu. Namun, masing-masing pemasok tersebut hanya mengetahui sebagian saja dari keseluruhan isi ramuan.

Banyak orang yang telah mencoba meniru resep rahasia dari Kolonel Sanders yang meninggal pada tahun 1980 ini. Kadang-kadang malah ada yang mengklaim telah menemukan salinannya. Namun KFC selalu mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang mendekati resep aslinya.

Resep ini memang merupakan “nyawa” dari KFC. Resep ini merupakan “DNA” dari KFC.

Resep rahasia Kolonel Sanders inilah yang membuat KFC mampu membedakan dirinya dari jaringan restoran lainnya yang sama-sama menyajikan menu utama dari ayam. Ini mirip dengan ramuan Merchandise 7X dari Coca-Cola. Rasa dan sensasi menikmati ayam goreng KFC dan minuman Coke akan terasa berbeda dibanding dengan kepunyaan pesaing karena adanya “DNA” ini.

Inilah yang sebenarnya dicari pelanggan. Pelanggan menginginkan adanya otentisitas dari produk atau layanan kita, di mana saja dan kapan saja mereka mengonsumsinya. Jika pelanggan mempersepsi offering kita sebagai tiruan atau palsu, maka kita akan kehilangan kredibilitas, pelanggan, dan pada akhirnya penjualan (sales).

Jadi, otentisitas menjadi salah satu kata kunci dalam era New Wave Marketing.

Otentisitas ini sendiri ada bermacam-macam jenisnya. Dalam bukunya Authenticity yang diterbitkan Harvard Business School Press, James Gilmore dan Joseph Pine mengemukakan bahwa ada lima jenis authenticity.

Pertama adalah natural authenticity. Ini mengacu kepada segala hal yang ada di permukaan bumi atau di dalam bumi yang sifatnya tidak sintetik atau artifisial, misalnya adalah organic food.

Kedua adalah original authenticity. Ini mengacu kepada segala hal yang memiliki orisinalitas dari segi desain. Misalnya adalah iPod dan iPhone dari Apple.

Selanjutnya adalah exceptional authenticity, yaitu segala sesuatu yang disampaikan secara langsung kepada Anda oleh orang lain, yang menunjukkan tingkat kepedulian yang sangat tinggi. Di sini contohnya adalah layanan legendaris ala Singapore Girls.

Lalu, referential authenticity adalah segala sesuatu yang mengacu kepada hal lain yang otentik. Misalnya adalah video games berjudul ”Call of Duty 2” yang mengacu kepada Perang Dunia II.

Dan yang terakhir adalah influential authenticity, yaitu segala sesuatu yang berpengaruh terhadap entitas lain, menginspirasi kita untuk mencapai tujuan lebih tinggi, atau memberikan harapan untuk sesuatu yang lebih baik. Ini misalnya saja penggunaan frasa-frasa seperti “conflict-free diamond” pada produk-produk intan atau “recycled paper” pada produk-produk berbahan kertas.

Memang, New Wave Marketing membuka peluang yang tidak terbatas bagi setiap orang. Pesaing bisa bermunculan kapan saja dengan keunggulan-keunggulan yang mirip dengan yang kita miliki. Tinggal sekarang bagaimana kita bisa mempertahankan “DNA” kita dan membangun orisinalitas agar tidak mudah ditiru oleh para pesaing ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --


Hermawan Kartajaya

Selanjutnya..... Selanjutnya...

detiknews

Viva News - BISNIS

Kirim SMS Gratis


Gabung Dengan Komunitas BB Online

Pimpinan Umum :
Drs. Ade Ratmadja
Email : (aderatmadja@bandungbaratonline.com)
Pimpinan Redaksi :
Agus Candra Suratmaja, S.P
Email : (aguscandra@bandungbaratonline.com)

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP