Kisah Para Agen Perubahan
Sejumlah orang Indonesia pernah mendapat predikat sebagai agen perubahan sosial di masyarakat. Sebuah catatan yang jarang dilihat.
Wirausahawan sosial (social entrepreneurship) boleh jadi masih asing terdengar di telinga masyarakat. Namun sesungguhnya bisnis yang berlandaskan faktor sosial ini sudah jamak dilakukan sebagian masyarakat di Indonesia.
Terbukti, Ashoka, sebuah lembaga wirausahawan sosial yang bermarkas di Washington DC, Amerika Serikat (AS), sejak 1981 hingga kini telah memberikan penghargaan (Ashoka Fellow) kepada 2.000 wirausahawan sosial terbaik di lebih dari 60 negara di dunia. Menariknya, dari jumlah itu, sebanyak 131 orang atau 15,26 persen berasal dari Indonesia.
Untuk 2008, terpilih empat wirausahawan sosial asal Indonesia. Mereka adalah Hambali yang fokus pada sektor kesehatan. Lewat Yayasan Mitra Aksi, Hambali mendirikan jaringan pusat-pusat kesehatan reproduksi yang dikelola dan dioperasikan para ibu rumah tangga.Wilayah pembinaan dan pemberdayaan yang dilakukan Yayasan Mitra Aksi mulai di Jambi, Bandar Lampung, Riau hingga Bengkulu dan sekitarnya.
Dalam bidang kesehatan reproduksi, Hambali berhasil mendirikan 54 klinik masyarakat yang mampu melayani 60.000 penduduk. Hambali juga menyediakan beasiswa ilmu kebidanan kepada perempuan remaja yang terpilih untuk kemudian mengabdi di klinik. Peraih Ashoka Fellowlainnya adalah Pamikatsih.
Wanita yang biasa disapa Pikat ini berupaya melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat lewat usaha-usaha mikro bagi masyarakat penyandang cacat fisik (penca) di Solo dan sekitarnya. Lewat lembaga Inter-Aksi, eks pengusaha wanita yang sukses memimpin gerakan nasional untuk pemberdayaan masyarakat penca ini memfasilitasi berbagai pelatihan kewirausahaan dan pemberian informasi yang aksesibel.
Beberapa sektor usaha yang dikembangkan di antaranya kerajinan batik, sangkar burung, dan jasa seperti reparasi jam, penjahitan, distribusi, toko kelontong, pakaian, dan makanan kecil. Sementara Yohanes Surya lebih memilih sektor pendidikan sebagai ekspresi kewirausahaan sosialnya. Pria yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Multimedia Nusantara ini dikenal sebagai fisikawan pendidik dan peneliti yang telah berjasa membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk memasuki fase renaisans.
Dia meletakkan jejak bagi murid-murid cemerlang sekolah menengah Indonesia yang berhasil masuk pada komunitas fisika pemula antarbangsa melalui Olimpiade Fisika Internasional dan kompetisi riset fisikawan muda bertaraf dunia,The First Step to Nobel Prize in Physics.
Lewat inovasi pengajaran ilmu-ilmu pasti dengan metode gasing (gampang, asyik, dan menyenangkan), lulusan doktoral cumlaude College of William and Mary, Virginia, AS 1994 ini sejak 2000 banyak memberikan pelatihan untuk guru-guru fisika dan matematika mulai dari kota besar hingga desa hampir di seluruh Indonesia melalui lembaga Surya Institute (SI).Metode ini terbukti menciptakan siswa-siswi Indonesia menjuarai olimpiade fisika tingkat dunia.
Adapun peraih Ashoka Fellow keempat adalah Bambang Basuki yang juga memilih pendidikan sebagai jalur kewirausahaan sosialnya. Lewat Yayasan Mitra Netra yang didirikan pada 1991, Bambang berupaya memberikan jasa layanan bidang pendidikan dan tenaga kerja bagi penyandang cacat tunanetra.
Misinya untuk mewujudkan kesetaraan perlakuan bagi tunanetra di bidang pendidikan dan tenaga kerja. Bambang mengembangkan teknologi "komputer bicara" dan memproduksi ratusan judul "buku bicara" (digital talking book) bagi para tunanetra.
YMN juga merintis kerja sama dengan produsen buku braile melalui internet, merintis pengembangan program yang memungkinkan para tunanetra mendapatkan kemudahan akses ke perpustakaan umum, serta membuat model website bagi tunanetra. Setidaknya, keempat peraih Ashoka Fellow 2008 asal Indonesia ini semakin membuktikan bahwa kewirausahaan sosial di Tanah Air sebenarnya bukanlah hal baru.
Memang, eksistensi kewirausahaan sosial semakin kuat dikukuhkan ketika Muhammad Yunus yang dikenal sebagai "Raja Kaum Miskin" berhasil meraih nobel perdamaian pada 2006 karena aksinya mendirikan dan membesarkan Grameen Bank di Bangladesh,sebuah lembaga pembiayaan yang khusus diperuntukkan bagi kaum miskin. Awalnya, kewirausahaan sosial ditujukan sebagai kegiatan nirlaba.
Di situ praktik-praktik yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk perubahan sosial di masyarakat. Hal ini pula yang dilakukan Florence Nightingale yang dikenal sebagai peletak fondasi keperawatan saat mendirikan sekolah perawat pertama pada 1860 di lingkungan rumah sakit St Thomas Hospital, London. Kini, rumah sakit itu bernama Sekolah Perawat dan Kebidanan Florence Nightingale (Florence Nightingale School of Nursing and Midwifery) yang merupakan bagian dari Akademi King College, London.
Apa yang dilakukan perempuan yang dijuluki Bidadari Berlampu (The Lady WithThe Lamp) itu merupakan sebuah kewirausahaan sosial di bidang kesehatan. Memang saat itu Nightingale sendiri tidak pernah berpikir mengejar unsur kewirausahaan (bisnis). Lantas, bagaimana dengan Grameen Bank yang bergerak di bidang pembiayaan sektor usaha kecil dan mikro (microfinance) milik Muhammad Yunus?
Belakangan muncul asumsi bahwa kewirausahaan sosial telah mengalami pergeseran. Kini tidak semata-mata bicara soal sosial semata, tetapi juga unsur bisnis. Dengan kata lain, kewirausahaan sosial telah berkembang menjadi salah satu private entrepreneurship. Namun, Yunus tetap mempertahankan prinsip awal Grameen Bank sebagai bentuk kewirausahaan sosial yang didasarkan pada bentuk tanggung jawab sosial pada masyarakat.
Agen Perubahan
Seperti disebutkan di atas, penerapan kewirausahaan di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Selain keempat nama yang meraih Ashoka Fellow 2008, sebenarnya sudah banyak individu yang melakukan kegiatan serupa sebagai agen perubahan (agent of change) di lingkungan mereka.
Sebut saja penemu Cabai Kopay Syahrul Yondri. Bermula dari kegagalan melaksanakan panen cabai tiga kali berturut-turut, Yon (panggilan akrabnya) pun mulai mencoba mencari solusi dari dampak serangan penyakit kuning yang menyerang tanaman cabainya.
Akhirnya dia menemukan bahwa selama ini penyakit yang menyerang tanamannya mempunyai karakteristik tidak tahan panas dan sering berada di bagian bawah daun untuk menghindari sinar matahari. Berdasarkan temuan tersebut, dia menggunakan cermin untuk memantulkan sinar matahari agar bisa menyinari punggung daun. Upaya tersebut mampu mengurangi serangan penyakit kuning terhadap tanamannya.
Dalam perkembangannya, Yon akhirnya menyingkirkan cermin karena dinilai tidak efektif. Dia kemudian memilih plastik mulsa yang diberi cat perak sebagai reflektor sinar matahari. Dengan cara ini, tanaman cabai milik Yon mendapatkan pantulan cahaya matahari secara tetap. Selain virus yang biasa tinggal di bagian bawah daun terbunuh, dengan penyinaran matahari yang bagus, proses pemasakan buah cabai menjadi lebih baik.
Hasilnya, panjang cabai hasil kebunnya berkisar antara 30-40 cm, lebih panjang dibandingkan panjang cabai normal yang hanya 10-20 cm saja. Dia kemudian berpikir, bagaimana agar cabai yang dia tanam bisa menghasilkan panjang 30-40 cm. Akhirnya, Yon mulai memilih cabai yang mempunyai panjang di luar kebiasaan tersebut, benihnya disemai, lalu ditanam.
Tanaman cabai hasil pilihannya ini ternyata mampu menghasilkan buah yang serupa dengan induknya. Bahkan setiap pohon cabai yang dia tanam mampu menghasilkan panen yang lebih banyak dibanding yang lain. Benih inilah yang kemudian dianugerahi nama cabai Kopay oleh Wali Kota Payakumbuh, Josrizal.Nama Kopay ini sendiri merupakan kependekan dari Kota Payakumbuh.
Berbagai inovasi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang selama ini tidak bisa ditangani pemerintah sebenarnya bisa dilakukan masyarakat sendiri lewat kewirausahaan sosial. Kuncinya hanyalah kesadaran.
Ya, sebuah kesadaran sosial yang bisa tumbuh dari setiap individu untuk kehidupan orang lain seperti yang diungkapkan Chief Executive Officer (CEO) Ashoka Bill Drayton dalam Jurnal Innovation 2006. "Their work is not a job,it is their life (apa yang mereka lakukan bukanlah pekerjaan, tetapi itu adalah hidupnya)." (sindo//mbs)

0 comments:
Post a Comment