Maribaya Menanti Sentuhan
MUSIM liburan telah tiba! Banyak objek wisata yang telah melakukan persiapan untuk menerima para wisatawan. Demikian pula di Jawa Barat, khususnya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Ada satu objek wisata yang keadaan alamnya masih alami, yaitu Maribaya. Berada di tempat ini, orang rela berlama-lama.
Objek wisata yang berada di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat ini memang menjanjikan kesegaran bagi para pengunjung. Terlebih di daerah ini keadaan hutannya masih elok dan dibiarkan hijau, sehingga konservasi hutan dan alamnya masih terjaga seperti dulu.Untuk mencapai lokasinya cukup mudah. Dari arah Bandung tinggal lurus setelah melewati pertigaan Pasar Lembang ke arah Subang. Sedangkan dari arah Subang tinggal belok kiri, sebelum pertigaan Pasar Lembang menuju Bandung. Jarak tempuh dari pertigaan Pasar Lembang sekitar 10 km terus ke utara. Ke Maribaya pun bisa ditempuh dengan jalan kaki dari objek wisata Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. Djuanda. Selama dalam perjalanan, Anda akan disuguhi keelokkan Tahura dan hutan Bandung Utara yang sedang "sakit". Gua Belanda, Gua Jepang, serta objek wisata alam lainnya seperti Curug Omas, siap menyajikan pemandangan yang menakjubkan.
Pun demikian selama menuju perjalanan dari Lembang ke Maribaya, banyak yang akan Anda temui, mulai dari kehidupan masyarakat Lembang yang dinamis, petani sayuran, peternakan sapi perah, sekolah polisi, sampai objek wisata buatan alam yang bisa menggoda Anda untuk nyimpang sebentar.
Begitu sampai di Maribaya, tinggal membeli tiket masuk seharga Rp 4.000 per orang, Anda akan disuguhi keelokan Curug Maribaya dan Curug Panganten yang airnya bisa menyegarkan tubuh. Tak hanya itu, pemandian air panas alami yang sempat menjadi primadona Maribaya, bisa dijadikan pilihan untuk bersantai selain air terjun dan keindahan alam.
Kondisi alam yang masih hijau dan segarnya udara Maribaya, ternyata tidak sebanding dengan kondisi fisik objek wisata tersebut. Hampir sebagian besar objek wisata Maribaya sangat memprihatinkan, sehingga terkesan tidak pernah mendapatkan sentuhan dari investor, apalagi pemerintah daerah. Di sana-sini fasilitas umum dibiarkan rusak dan terbengkalai. Tidak ada perbaikan, apalagi diganti dengan yang baru.
Misalnya shelter untuk beristirahat, dibiarkan rusak. Demikian pula jalur pejalan kaki, kondisinya sudah compang-camping dan berlumut, sehingga bisa membahayakan para pengunjung. Tak hanya itu, jembatan penyeberangan dan pagar pengaman pun dibiarkan apa adanya, rusak dan terlepas. Kondisi panggung gembira apalagi. Awalnya panggung ini dibuat untuk meramaikan objek wisata Maribaya dengan berbagai acara kesenian, namun kini tidak lagi. Kondisinya yang tidak terawat membuat orang enggan memanfaatkan panggung ini.
Saat menuju Curug Omas dan Tahura, Anda akan dikenakan biaya masuk sebesar Rp 8.000/orang, sedangkan bagi wisatawan asing Rp 35.000/orang. Harga tersebut cukup mahal bagi ukuran wisatawan lokal, bahkan asing. Pasalnya, selama menuju ke Curug Omas sampai ke Tahura, sangat jarang fasilitas yang tersedia, kecuali keindahan alam dan asuransi. Menurut penjaga tiket, harga masuk tersebut masih tergolong murah, karena setengahnya digunakan untuk konservasi alam (hutan di wilayah Maribaya dan Tahura). Sedangkan jalan setapak dibiarkan apa adanya sesuai dengan kondisi hutan.
Dari sekian banyak pengunjung Maribaya dan Tahura setiap akhir pekan, yang paling banyak adalah para pelajar, mahasiswa, peneliti, dan pencinta lingkungan. Biasanya mereka tidak hanya melakukan darmawisata, tapi juga melakukan penelitian terhadap kondisi hutan dan tanaman. Tidak kurang dari 2.500 jenis tumbuhan hidup dan berkembang di Maribaya dan Tahura, seperti kiara, mahoni, kiputih, serut, pinus, dan lain-lain.
Tidak hanya tumbuhan, di Maribaya pun banyak hidup satwa endemik pulau Jawa, seperti owa, monyet ekor panjang, lutung serta berbagai jenis burung. Satwa-satwa itu hidup bebas di Maribaya sampai Tahura tanpa ada yang pernah mengusiknya. Itulah yang menjadi daya tarik objek wisata ini. Tak heran, sekalipun fasilitas umum dan sosialnya kurang menunjang, objek wisata ini selalu menjadi tujuan wisatawan lokal maupun asing.
Sedikitnya kita boleh berbangga, apa yang dilakukan pengelola Maribaya mempertahankan keasrian hutannya mampu menarik wisatawan. Namun, bagaimana dengan peran pemerintah daerah? Bagaimana pun, keterlibatan pemerintah sangat diperlukan, terutama untuk perbaikan sarana prasarana serta fasilitas umum, termasuk jalan masuk yang masih relatif kecil.
Asal usul
Maribaya berasal dari nama seorang perempuan yang sangat cantik dan memesona kaum laki-laki. Kecantikannya sering membuat pemuda-pemuda di kampungnya cekcok, sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi pertumpahan darah.
Nama wanita cantik itulah yang kemudian disematkan kepada sebuah objek wisata di Bandung Utara, sebagai gambaran keindahan dan keeksotisan alamnya. Keelokan pemandangannya digambarkan bagai seorang gadis jelita yang membuat setiap pemuda bertekuk lutut. Namun, apakah objek wisata Maribaya saat ini masih seperti dulu yang membuat setiap orang ingin menyambanginya?
Sejak mulai dikembangkan tahun 1835 oleh Eyang Raksa Dinata, ayah Maribaya, objek wisata itu berhasil mengubah kehidupan Eyang Raksa Dinata yang sebelumnya hidup miskin, menjadi berkecukupan. Banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Mereka tidak hanya datang untuk berekreasi menghirup udara segar alam pengunungan dan perbukitan, tetapi juga untuk berobat dengan berendam di air hangat.
Eyang Raksa Dinata yang sebenarnya hanya ingin menghindari pertumpahan darah di kampungnya, malah mendapat berkah kekayaan setelah mengelola sumber air panas mineral yang dapat dipergunakan untuk pengobatan itu. Keluarga Maribaya memperoleh penghasilan dari para pengunjung yang datang berduyun-duyun.
Mitos goong ageung
Selain menjanjikan keindahan, keelokan serta hijaunya hutan, di Maribaya pun terdapat sebua mitos. Bila mitos itu dilabrak atau dilanggar, akan ada kejadian yang menggemparkan di tempat itu.
Menurut salah seorang petugas parkir yang sudah puluhan tahun bekerja di Maribaya, Bah Andi (60), kawasan Maribaya merupakan kabuyutan goong ageung. Karena itu, di Maribaya sangat dipahing (ditabukan) menggelar kesenian tradisional yang menggunakan goong ageung (gong besar). Jika gong besar itu dipukul atau ditabeuh, akan turun hujan deras di lokasi tersebut sampai sore, dan hanya bisa berhenti jika gong besar itu dibawa keluar dari lokasi tersebut.
Abah Andi mengungkapkan, sudah beberapa kali pengunjung yang dengan sengaja menyelenggarakan kesenian tradisional dan menggunakan gong besar, acaranya dibubarkan dengan hujan yang sangat deras. Ia tidak mengetahui sejak kapan mitos itu ada dan siapa yang menyebarkannya. (kiki kurnia/"GM")** (Sumber : www.klik-galamedia.com)
0 comments:
Post a Comment