Video Temu Bisnis dan Investasi Kabupaten Bandung Barat (KBB)

17 July, 2009

Beranikah Bank Syariah Menjadi ‘Grameen Bank’ di Indonesia?

Ada berita memprihatinkan yang dimuat Harian Pagi Radar Jember dua hari berturut-turut, 28 dan 29 Juni 2009 lalu. Yakni tentang nasib 2.200 anggota Bank Gakin (Bank Keluarga Miskin) di Kabupaten Jember yang seperti telur di ujung tanduk. Pasalnya, modal bank yang dibina Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Jember itu akan ditarik oleh pemiliknya, Bank Jatim. Padahal modal pinjaman yang diberikan Bank Jatim hampir mencapai 80%. Dari 29 Bank Gakin yang ada, hanya tujuh unit yang menggunakan dana mandiri. Dana yang digulirkan juga lumayan besar yakni mencapai Rp 14 milyar lebih. Jika benar Bank Jatim akan menarik seluruh pinjamannya, dipastikan sekitar 2.200 anggota Bank Gakin Jember akan kelabakan. Mereka harus pontang-panting mempertahankan eksistensi usahanya yang sudah tiga tahun ini dirintis dengan gemilang. Mereka akan terpukul karena pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Jember, belum mampu menyediakan dana pengganti karena keterbatasan anggaran. Demikian sebagian isi dari tulisan di Harian Pagi Radar Jember tersebut. Atas realitas ini, akankah Bank Syariah khususnya Bank Syariah di Kota Jember tergerak hatinya dan melihat ini sebagai potensi pasar yang prospektif?

Tujuh belas tahun sudah usia bank syariah di Indonesia sejak berdiri 1992 lalu, namun eksistensinya masih “melangit”. Sebagian besar strategi dan inovasi produk yang dikembangkan bank syariah belum bisa dinikmati sektor riil yang notabene adalah kalangan masyarakat kelas bawah yang jelas-jelas sangat membutuhkan aliran modal namun tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan agunan. Dalam mekanisme pemberian kredit/modal, bank syariah menetapkan prosedur yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Masalahnya kemudian menjadi sangat sederhana, apa artinya perbedaan antara bank konvensional dengan sistem bunganya dan bank syariah dengan sistem bagi hasilnya, jika keduanya sama-sama susah diakses oleh masyarakat kecil yang membutuhkan modal untuk kelangsungan usahanya?

Saya terenyuh mendengar cerita seorang ibu lijo (penjual sayur keliling) tentang bagaimana ia bisa mendapatkan modal usaha untuk bisa berjualan dan bagaimana ia harus membayar bunganya. Tak adanya akses untuk meminjam modal usaha ke bank karena tak punya apa-apa untuk dijadikan agunan, terpaksa si ibu meminjam uang kepada rentenir dengan bunga 20 persen sebulan. Bandingkan dengan tingkat suku bunga kredit komersil bank konvensional yang kini hanya berkisar 11-14 persen/tahun (Jawa Pos, 4 Juli 2009). Si rentenir rupanya sedikit berbaik hati dengan “belanja” pada ibu lijo rata-rata Rp 10 ribu setiap hari. Ia tidak perlu membayar belanjaannya, cukup dihitung dengan teliti kemudian mengurangi jumlah bunga yang harus dibayar ibu lijo atas pinjamannya. Rata-rata sepuluh ribu setiap hari mungkin sedikit meringankan dan tidak terlalu besar dibandingkan jika harus membayar sekaligus. Tapi bagi seorang lijo yang jam 12 malam harus sudah bangun dan segera kulakan ke pasar kemudian berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain, dari satu rumah ke rumah lain sejak hari masih gelap, yang jika sedang hoki paling cepat jam 10 pagi baru bisa pulang ke rumah atau hingga jam 12 siang jika dagangannya tak cepat laku, nominal itu sangat luar biasa. Betapa tidak? Dari setengah kilogram daging ayam yang harganya sekitar Rp 11 ribu, lijo biasanya hanya mengambil keuntungan Rp 500, atau Rp 100 dari seikat bayam yang dijualnya. Dari receh demi receh itulah ia membayar bunga dan mencicil hutangnya pada rentenir, menghidupi keluarganya dan masih harus menyisihkan untuk modal berjualan esok harinya.

Dalam situasi seperti ibu lijo di atas, keberadaan Bank Gakin tentu akan sangat membantu. Sayangnya, untuk kabupaten Jember sebagaimana diberitakan oleh Harian Pagi Radar Jember bulan lalu, nasibnya seperti telur di ujung tanduk. Akankah bank syariah yang semakin marak mengekspansi Kota Suwar-suwir ini mau menjadi dewa penolong bagi wong cilik tersebut? Memberdayakan secara ekonomi sekaligus membebaskan masyarakat dari jerat riba.

Belajar dari Grameen Bank

Muhammad Yunus dan Grameen Bank-nya berhasil membuktikan bahwa gerakan nyata untuk mendayagunakan ekonomi masyarakat bawah bisa berjalan. Salah satu ciri unik Grameen Bank adalah pola pemberian kredit yang disandarkan pada pembentukan kelompok kecil penerima kredit. Satu kelompok terdiri dari lima orang yang saling bantu dan mengawasi dalam proses income generating (aktifitas yang mendatangkan penghasilan). Hanya dua orang dari mereka yang diperkenankan meminta kredit dari bank dan jika mereka tidak bermasalah dalam pengembalian kreditnya, dua orang lainnya dalam kelompok boleh ikut meminjam, dan jika semua sukses si orang kelima bisa mengajukan kredit pada bank. Dukungan moral dari sesama anggota kelompok peminjam menjadi pemacu pengembalian kredit secara disiplin. Hanya sebagian kecil dari kreditor yang gagal mengembalikan kredit, sebagian besar (98,85%) mengembalikannya secara penuh tepat pada waktunya.

Di antara kriteria pemberian modal yang dianut oleh Grameen Bank adalah bahwa kredit pada masyarakat miskin pedesaan diberikan tanpa perlunya agunan atau penjaminan, kredit digunakan untuk aktifitas yang mendatangkan penghasilan (income generating), adanya pengawasan dan bimbingan ketat dari pihak bank, serta transparansi pada pengelolaan banknya. Hampir semua permodalan Grameen Bank dimiliki oleh para kreditornya sendiri dan hanya sebagian kecil (6%) dimiliki oleh pemerintah Bangladesh. Saat ini, operasional mereka dibiayai dari hasil pemutaran kredit dan sama sekali tidak tergantung dari pinjaman atau bantuan dari pihak lain.

Muhammad Yunus dan Grameen Bank berhasil menjadi pemecah mata rantai lingkaran setan yang diciptakan antara kemiskinan dan permodalan. Dukungan anggota kelompok dalam proses peminjaman kredit menjadi pengganti perlunya agunan di Grameen Bank. Dalam praktik ekonomi kapitalisme yang umum berlaku, setiap peminjam kredit harus mempunyai sejumlah agunan sebagai jaminan bagi bank. Dengan adanya syarat ini, rakyat miskin yang tidak punya apa-apa tidak mungkin mendapat kesempatan mendapatkan modal dalam upayanya meningkatkan penghasilan.

Upaya yang dilakukan Muhammad Yunus dan Grameen Bank terus berkembang pesat dan yang sangat menarik adalah bahwa 97% diantara peminjam adalah perempuan. Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya tidak hanya berhasil membuktikan bahwa gerakan nyata untuk mendayagunakan ekonomi masyarakat bawah bisa berjalan namun juga membuktikan bahwa kaum perempuan yang menjadi nasabah utama (98%) ternyata tidak hanya bisa dipercaya namun juga mampu melakukan sebuah perubahan sangat revolusioner, yakni berhasil melawan kemiskinan. Perempuan secara tidak disengaja menjadi ujung tombak penerima kredit Grameen Bank. Dengan nilai kredit yang tidak terlalu besar, perempuan pedesaan Bangladesh yang secara tradisional tidak terlalu banyak berkontribusi ekonomi dapat mencoba menumbuhkan usaha-usaha kecil yang menghasilkan uang. Hasilnya luar biasa. Kaum perempuan Bangladesh memiliki andil besar dalam meningkatkan perekonomian di desanya masing-masing dan karena Grameen Bank dilakukan pada skala yang besar, kontribusinya pada perekonomian negara juga cukup signifikan. Diperkirakan 1,1% dari GDP Bangladesh merupakan nilai tambah dari seluruh aktifitas Grameen Bank. Hingga 2008 lalu Grameen Bank telah memiliki 1.181 cabang, bekerja di 42.127 desa, didukung 11.777 staf, menyalurkan kredit sebanyak $3,9milyar kepada 2,6juta debitur yang 95% perempuan. Hingga kini model Grameen Bank telah direplikasi oleh lebih 250 lembaga keuangan mikro di hampir 100 negara.

Grameen Bank di Kabupaten Jember

Pertumbuhan dan perkembangan Bank Gakin di Kabupaten Jember sangat pesat bahkan berhasil meraih MDGs Award dan menjadi role model bagi bank gakin-bank gakin di daerah lain di Indonesia. Bank Gakin adalah sebutan yang diberikan sendiri oleh warga miskin yang menjadi anggotanya. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh beberapa pengurus dan anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Mikro (LKMM) sebagai antitesis terhadap bank formal yang selama ini tidak pernah mau peduli dengan ekonomi keluarga miskin.

Tumbuh kembang bank gakin di Jember dipelopori oleh Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Jember sejak tahun 2005 lalu. Tujuan utamanya adalah perempuan miskin dan produktif. Pada awalnya program ini akan diimplementasikan pada tingkat desa. Namun karena wilayah desa dianggap masih terlalu luas, wilayah kerja Keuangan Mikro Masyarakat dipersempit menjadi tingkat dusun. Semakin sempit wilayah kerja diprediksi akan semakin efektif. Dusun Semenggu dan Mojan, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang terpilih sebagai pioneer karena masyarakat di kedua lokasi tersebut telah di-black list lembaga perbankan. Dengan modal dana hibah dari Dinas Koperasi dan UMKM sebesar dua puluh lima juta rupiah dan simpanan sukarela anggota, kedua Lembaga Keuangan Mikro Masyarakat tersebut telah mampu melayani sekitar 30 kelompok yang beranggotakan lebih dari 150 kepala keluarga.

Sebagaimana halnya Grameen Bank, bank gakin di Jember juga menggunakan prinsip tanggung renteng di antara para anggotanya. Kelompok usaha yang terdiri atas 5-10 orang dapat mengajukan kredit usaha tanpa agunan antara Rp 50.000 hingga Rp 1 juta. Masyarakat yang mengajukan kredit tidak perlu menyerahkan proposal usaha, apalagi melalui survei yang berbelit. Proposal bisa diajukan secara lisan. Dana kredit bisa langsung cair setelah diadakan survey sekilas terhadap usaha yang dijalankan. Dengan kucuran kredit berjangka waktu 10 minggu yang diangsur setiap minggu dengan bunga 0,5 persen, terobosan ini sangat membantu kelompok usaha kecil dan menengah.

Anggota satu bank gakin maksimal 200 orang warga miskin. Jika lebih dari 200 orang, bank akan mengalami kesulitan dari sisi pengelolaan. Bank ini dikelola sendiri oleh warga miskin, di mana 90% pengurusnya adalah perempuan. Sebanyak 46% di antaranya adalah lulusan sekolah dasar dan 5% tidak melewatkan pendidikan sekolah formal. Meski demikian, omzet bank gakin di Jember mampu mencapai Rp 14 miliar dengan aset Rp 2,1 miliar. Pertumbuhan omzet selama tiga tahun terakhir rata-rata 260%. Sebuah pertumbuhan yang sangat spektakuler jika dilihat dari kacamata usaha. Sayang, nasibnya kini seperti telur di ujung tanduk. Empat tahun belum cukup bagi sebagian besar bank gakin untuk bisa mandiri. Hanya tujuh dari 29 Bank Gakin yang mampu menggunakan dana mandiri.

Butuh Keberanian Revolusioner dan Niat Tulus

Problematika yang tengah melanda bank gakin di Jember sebenarnya bisa menjadi potensi pasar yang prospektif. Termasuk bagi bank syariah di kota Jember : Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah. Dibutuhkan keberanian revolusioner dan niat tulus untuk mengambil alih peran Bank Jatim yang selama ini menjadi pengayom. Keberanian yang revolusioner dan niat yang tulus menjadi hal yang penting dalam konteks ini mengingat :

Pertama, sekalipun prospektif karena pertumbuhannya yang pesat hingga 260%, membiayai bank gakin yang tidak lain adalah banknya orang miskin, tentu tak semenguntungkan jika membiayai usaha besar yang omsetnya jauh lebih besar. Juga jauh lebih menguntungkan dan aman jika dana bank disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. Faktor komersil ini yang mungkin menjadi salah satu pertimbangan Bank Jatim mau menarik dananya di bank gakin. Dengan sistem bagi hasilnya, bank syariah sebenarnya tidak akan rugi. Bukankah selama ini prinsip bagi hasil yang dijalankan bank syariah berdasarkan keuntungan riil di lapangan. Artinya, jika usaha yang dibiayai oleh bank gakin berhasil, bank syariah yang memberikan dana pinjaman juga akan memperoleh keuntungan. Hanya saja, karena pelakunya adalah unit usaha kecil, keuntungannya juga relatif kecil. Di sinilah perlu adanya niat tulus untuk memberdayakan ekonomi rakyat.

Kedua, ini adalah moment untuk membebaskan umat dari jerat riba. Andai Bank Jatim benar-benar menarik modalnya, bisa jadi sebagian dari 2.200 anggota bank gakin yang harus mencari suntikan dana baru akan masuk dalam jebakan rentenir. Sangat disayangkan.

Kalaupun Bank Jatim tidak jadi menarik dananya atau Pemkab Jember bisa mendapatkan bank/sponsor pengganti, fenomena maraknya bank gakin tetap menjadi peluang pasar yang prospektif bagi bank syariah. Usaha kecil yang dibiayai oleh bank gakin tidak akan selamanya menjadi usaha kecil. Pembinaan yang intensif dan dukungan modal yang memadai sangat mungkin mengantarkannya menjadi usaha besar tidak hanya dalam skala regional dan nasional, tapi juga internasional. Di new economy era seperti sekarang, semuanya serba mungkin. Tinggal apakah bank syariah berani menangkap peluang emas ini atau membiarkannya berlalu begitu saja.

Tulisan ini juga dimuat di www.auliya-fr.blogspot.com dan www.facebook.com/ririn.handayani



0 comments:

detiknews

Viva News - BISNIS

Kirim SMS Gratis


Gabung Dengan Komunitas BB Online

Pimpinan Umum :
Drs. Ade Ratmadja
Email : (aderatmadja@bandungbaratonline.com)
Pimpinan Redaksi :
Agus Candra Suratmaja, S.P
Email : (aguscandra@bandungbaratonline.com)

  © Blogger template The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP